g telah kami buat selama ini,setelah 2 tahun menikah, saya dan suami setuju menjemput nenek di kampung untuk tinggal bersama.
Sejak kecil suami saya telah kehilangan ayahnya, dia adalah
satu-satunya harapan nenek, nenek pula yang membesarkannya dan
menyekolahkan dia hingga tamat kuliah.
Saya terus mengangguk
tanda setuju, kami segera menyiapkan sebuah kamar yang menghadap taman
untuk nenek, agar dia dapat berjemur, menanam bunga dan sebagainya.
Suami berdiri didepan kamar yang sangat kaya dengan sinar matahari,
tidak sepatah katapun yang terucap tiba-tiba saja dia mengangkat saya
dan memutar-mutar saya seperti adegan dalam film India dan berkata:
"Mari,kita jemput nenek di kampung".
Suami berbadan tinggi
besar, aku suka sekali menyandarkan kepalaku ke dadanya yang bidang, ada
suatu perasaan nyaman dan aman disana. Aku seperti sebuah boneka kecil
yang kapan saja bisa diangkat dan dimasukan kedalam kantongnya.
Kalau terjadi selisih paham diantara kami, dia suka tiba-tiba
mengangkatku tinggi-tinggi diatas kepalanya dan diputar-putar sampai aku
berteriak ketakutan baru diturunkan. Aku sungguh menikmati saat-saat
seperti itu.
Kebisaaan nenek di kampung tidak berubah. Aku suka
sekali menghias rumah dengan bunga segar, sampai akhirnya nenek tidak
tahan lagi dan berkata kepada suami:"Istri kamu hidup foya-foya, buat
apa beli bunga? Kan bunga tidak bisa dimakan?"
Aku
menjelaskannya kepada nenek: "Ibu, rumah dengan bunga segar membuat
rumah terasa lebih nyaman dan suasana hati lebih gembira". Nenek berlalu
sambil mendumel, suamiku berkata sambil tertawa: "Ibu, ini kebisaaan
orang kota , lambat laun ibu akan terbiasa juga."
Nenek tidak
protes lagi, tetapi setiap kali melihatku pulang sambil membawa bunga,
dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya berapa harga bunga itu,
setiap mendengar jawabanku dia selalu mencibir sambil
menggeleng-gelengka n kepala. Setiap membawa pulang barang belanjaan,dia
selalu tanya itu berapa harganya, ini berapa. Setiap aku jawab, dia
selalu berdecak dengan suara keras.
Suamiku memencet hidungku
sambil berkata: "Putriku, kan kamu bisa berbohong. Jangan katakan harga
yang sebenarnya." Lambat laun, keharmonisan dalam rumah tanggaku mulai
terusik. Nenek sangat tidak bisa menerima melihat suamiku bangun pagi
menyiapkan sarapan pagi untuk dia sendiri, di mata nenek seorang anak
laki-laki masuk ke dapur adalah hal yang sangat memalukan.
Di
meja makan, wajah nenek selalu cemberut dan aku sengaja seperti tidak
mengetahuinya. Nenek selalu membuat bunyi-bunyian dengan alat makan
seperti sumpit dan sendok, itulah cara dia protes.
Aku adalah
instrukstur tari, seharian terus menari membuat badanku sangat letih,
aku tidak ingin membuang waktu istirahatku dengan bangun pagi apalagi
disaat musim dingin.
Nenek kadang juga suka membantuku di
dapur, tetapi makin dibantu aku menjadi semakin repot, misalnya : dia
suka menyimpan semua kantong-kantong bekas belanjaan, dikumpulkan bisa
untuk dijual katanya. Jadilah rumahku seperti tempat pemulungan kantong
plastik, dimana-mana terlihat kantong plastik besar tempat semua
kumpulan kantong plastik.
Kebiasaan nenek mencuci piring bekas
makan tidak menggunakan cairan pencuci, agar supaya dia tidak
tersinggung, aku selalu mencucinya sekali lagi pada saat dia sudah
tidur. Suatu hari, nenek mendapati aku sedang mencuci piring malam
harinya, dia segera masuk ke kamar sambil membanting pintu dan menangis.
Suamiku jadi serba salah, malam itu kami tidur seperti orang
bisu, aku coba bermanja-manja dengan dia, tetapi dia tidak perduli. Aku
menjadi kecewa dan marah."Apa salahku?" Dia melotot sambil berkata:
"Kenapa tidak kamu biarkan saja? Apakah memakan dengan piring itu bisa
membuatmu mati?"
Aku dan nenek tidak bertegur sapa untuk waktu
yang cukup lama, suasana menjadi kaku. Suamiku menjadi sangat kikuk,
tidak tahu harus berpihak pada siapa? Nenek tidak lagi membiarkan
suamiku masuk ke dapur, setiap pagi dia selalu bangun lebih pagi dan
menyiapkan sarapan untuknya, suatu kebahagiaan terpancar di wajahnya
jika melihat suamiku makan dengan lahap, dengan sinar mata yang seakan
mencemohku sewaktu melihat padaku, seakan berkata dimana tanggung
jawabmu sebagai seorang istri?
Demi menjaga suasana pagi hari
agar tidak terganggu, aku selalu membeli makanan diluar pada saat
berangkat kerja. Saat tidur, suami berkata:"Luci, apakah kamu merasa
masakan ibu tidak enak dan tidak bersih sehingga kamu tidak pernah makan
di rumah?" sambil memunggungiku dia berkata tanpa menghiraukan air mata
yang mengalir di kedua belah pipiku.
Dan dia akhirnya
berkata: "Anggaplah ini sebuah permintaanku, makanlah bersama kami
setiap pagi". Aku mengiyakannya dan kembali ke meja makan yang serba
canggung itu.
Pagi itu nenek memasak bubur, kami sedang makan
dan tiba-tiba ada suatu perasaan yang sangat mual menimpaku, seakan-akan
isi perut mau keluar semua. Aku menahannya sambil berlari ke kamar
mandi, sampai disana aku segera mengeluarkan semua isi perut.
Setelah agak reda, aku melihat suamiku berdiri didepan pintu kamar mandi
dan memandangku dengan sinar mata yang tajam, diluar sana terdengar
suara tangisan nenek dan berkata-kata dengan bahasa daerahnya. Aku
terdiam dan terbengong tanpa bisa berkata-kata. Sungguh bukan sengaja
aku berbuat demikian!
Pertama kali dalam perkawinanku, aku
bertengkar hebat dengan suamiku, nenek melihat kami dengan mata merah
dan berjalan menjauh, suamiku segera mengejarnya keluar rumah. Menyambut
anggota baru tetapi dibayar dengan nyawa nenek.
Selama 3 hari
suamiku tidak pulang ke rumah dan tidak juga meneleponku. Aku sangat
kecewa, semenjak kedatangan nenek di rumah ini, aku sudah banyak
mengalah, mau bagaimana lagi?
Entah kenapa aku selalu merasa
mual dan kehilangan nafsu makan ditambah lagi dengan keadaan rumahku
yang kacau, sungguh sangat menyebalkan. Akhirnya teman sekerjaku
berkata:"Luci, sebaiknya kamu periksa ke dokter".
Hasil
pemeriksaan menyatakan aku sedang hamil. Aku baru sadar mengapa aku
mual-mual pagi itu. Sebuah berita gembira yang terselip juga kesedihan.
Mengapa suami dan nenek sebagai orang yang berpengalaman tidak berpikir
sampai sejauh itu?
Di pintu masuk rumah sakit aku melihat
suamiku, 3 hari tidak bertemu dia berubah drastis, muka kusut kurang
tidur, aku ingin segera berlalu tetapi rasa iba membuatku tertegun dan
memanggilnya. Dia melihat ke arahku tetapi seakan akan tidak mengenaliku
lagi, pandangan matanya penuh dengan kebencian dan itu melukaiku.
Aku berkata pada diriku sendiri, jangan lagi melihatnya dan segera
memanggil taksi. Padahal aku ingin memberitahunya bahwa kami akan segera
memiliki seorang anak. Dan berharap aku akan diangkatnya tinggi-tinggi
dan diputar-putar sampai aku minta ampun tetapi mimpiku tidak menjadi
kenyataan. Didalam taksi air mataku mengalir dengan deras. Mengapa
kesalah pahaman ini berakibat sangat buruk?
Sampai di rumah aku
berbaring di ranjang memikirkan peristiwa tadi, memikirkan sinar
matanya yang penuh dengan kebencian, aku menangis dengan sedihnya.
Tengah malam,aku mendengar suara orang membuka laci, aku menyalakan
lampu dan melihat dia dengan wajah berlinang air mata sedang mengambil
uang dan buku tabungannya.
Aku nenatapnya dengan dingin tanpa
berkata-kata. Dia seperti tidak melihatku saja dan segera berlalu.
Sepertinya dia sudah memutuskan untuk meninggalkan aku. Sungguh lelaki
yang sangat picik, dalam saat begini dia masih bisa membedakan antara
cinta dengan uang. Aku tersenyum sambil menitikan air mata. Aku tidak
masuk kerja keesokan harinya, aku ingin secepatnya membereskan masalah
ini, aku akan membicarakan semua masalah ini dan pergi mencarinya di
kantornya.
Di kantornya aku bertemu dengan sekretarisnya yang
melihatku dengan wajah bingung."Ibunya pak direktur baru saja mengalami
kecelakaan lalu lintas dan sedang berada di rumah sakit.
Mulutku terbuka lebar. Aku segera menuju rumah sakit dan saat
menemukannya, nenek sudah meninggal. Suamiku tidak pernah menatapku,
wajahnya kaku. Aku memandang jasad nenek yang terbujur kaku. Sambil
menangis aku menjerit dalam hati: "Tuhan, mengapa ini bisa terjadi?"
Sampai selesai upacara pemakaman, suamiku tidak pernah bertegur sapa
denganku, jika memandangku selalu dengan pandangan penuh dengan
kebencian.
Peristiwa kecelakaan itu aku juga tahu dari orang
lain, pagi itu nenek berjalan ke arah terminal, rupanya dia mau kembali
ke kampung. Suamiku mengejar sambil berlari, nenek juga berlari makin
cepat sampai tidak melihat sebuah bus yang datang ke arahnya dengan
kencang. Aku baru mengerti mengapa pandangan suamiku penuh dengan
kebencian. Jika aku tidak muntah pagi itu, jika kami tidak bertengkar,
jika…. Dimatanya, akulah penyebab kematian nenek.
Suamiku
pindah ke kamar nenek, setiap malam pulang kerja dengan badan penuh
dengan bau asap rokok dan alkohol. Aku merasa bersalah tetapi juga
merasa harga diriku terinjak-injak. Aku ingin menjelaskan bahwa semua
ini bukan salahku dan juga memberitahunya bahwa kami akan segera
mempunyai anak. Tetapi melihat sinar matanya, aku tidak pernah
menjelaskan masalah ini. Aku rela dipukul atau dimaki-maki olehnya
walaupun ini bukan salahku.
Waktu berlalu dengan sangat lambat.
Kami hidup serumah tetapi seperti tidak mengenal satu sama lain. Dia
pulang makin larut malam. Suasana tegang didalam rumah. Suatu hari, aku
berjalan melewati sebuah café, melalui keremangan lampu dan kisi-kisi
jendela, aku melihat suamiku dengan seorang wanita didalam
.
Dia sedang menyibak rambut sang gadis dengan mesra. Aku tertegun dan
mengerti apa yang telah terjadi. Aku masuk kedalam dan berdiri di depan
mereka sambil menatap tajam kearahnya. Aku tidak menangis juga tidak
berkata apapun karena aku juga tidak tahu harus berkata apa. S
ang gadis melihatku dan ke arah suamiku dan segera hendak berlalu.
Tetapi dicegah oleh suamiku dan menatap kembali ke arahku dengan sinar
mata yang tidak kalah tajam dariku. Suara detak jantungku terasa sangat
keras, setiap detak suara seperti suara menuju kematian.
Akhirnya aku mengalah dan berlalu dari hadapan mereka, jika tidak..
mungkin aku akan jatuh bersama bayiku dihadapan mereka. Malam itu dia
tidak pulang ke rumah. Seakan menjelaskan padaku apa yang telah terjadi.
Sepeninggal nenek, rajutan cinta kasih kami juga sepertinya telah
berakhir
Dia tidak kembali lagi ke rumah, kadang sewaktu
pulang ke rumah, aku mendapati lemari seperti bekas dibongkar. Aku tahu
dia kembali mengambil barang-barang keperluannya. Aku tidak ingin
menelepon dia walaupun kadang terbersit suatu keinginan untuk
menjelaskan semua ini. Tetapi itu tidak terjadi, semua berlalu begitu
saja.
Aku mulai hidup seorang diri, pergi check kandungan
seorang diri. Setiap kali melihat sepasang suami istri sedang check
kandungan bersama, hati ini serasa hancur. Teman-teman menyarankan agar
aku membuang saja bayi ini, tetapi aku seperti orang yang sedang
histeris mempertahankan miliknya. Hitung-hitung sebagai pembuktian
kepada nenek bahwa aku tidak bersalah.
"Suatu hari pulang
kerja, aku melihat dia duduk didepan ruang tamu. Ruangan penuh dengan
asap rokok dan ada selembar kertas diatas meja, tidak perlu tanya aku
juga tahu surat apa itu. 2 bulan hidup sendiri, aku sudah bisa
mengontrol emosi.
Sambil membuka mantel dan topi aku berkata
kepadanya: "Tunggu sebentar, aku akan segera menanda tanganinya". Dia
melihatku dengan pandangan awut-awutan demikian juga aku. Aku berkata
pada diri sendiri, jangan menangis, jangan menangis. Mata ini terasa
sakit sekali tetapi aku terus bertahan agar air mata ini tidak keluar.
Selesai membuka mantel, aku berjalan ke arahnya dan ternyata dia
memperhatikan peruntuku yang agak membuncit. Sambil duduk di kursi, aku
menanda tangani surat itu dan menyodorkan kepadanya
."Luci,
kamu hamil?" Semenjak nenek meninggal, itulah pertama kali dia berbicara
kepadaku. Aku tidak bisa lagi membendung air mataku yang mengalir
keluar dengan derasnya.
Aku menjawab: "Iya, tetapi tidak
apa-apa. Kamu sudah boleh pergi". Dia tidak pergi, dalam keremangan
ruangan kami saling berpandangan.
Perlahan-lahan dia
membungkukan badannya ke tanganku, air matanya terasa menembus lengan
bajuku. Tetapi di lubuk hatiku, semua sudah berlalu, banyak hal yang
sudah pergi dan tidak bisa diambil kembali. Entah sudah berapa kali aku
mendengar dia mengucapkan kata:
"Maafkan aku, maafkan aku". Aku
pernah berpikir untuk memaafkannya tetapi tidak bisa. Tatapan matanya
di cafe itu tidak akan pernah aku lupakan. Cinta diantara kami telah ada
sebuah luka yang menganga. Semua ini adalah sebuah akibat kesengajaan
darinya.
Berharap dinding es itu akan mencair, tetapi yang
telah berlalu tidak akan pernah kembali. Hanya sewaktu memikirkan
bayiku, aku bisa bertahan untuk terus hidup. Terhadapnya, hatiku dingin
bagaikan es, tidak pernah menyentuh semua makanan pemberian dia, tidak
menerima semua hadiah pemberiannya tidak juga berbicara lagi dengannya.
Sejak menanda tangani surat itu, semua cintaku padanya sudah berlalu,
harapanku telah lenyap tidak berbekas. Kadang dia mencoba masuk ke kamar
untuk tidur bersamaku, aku segera berlalu ke ruang tamu, dia terpaksa
kembali ke kamar nenek.
Malam hari, terdengar suara orang
mengerang dari kamar nenek tetapi aku tidak perduli. Itu adalah
permainan dia dari dulu. Jika aku tidak perduli padanya, dia akan
berpura-pura sakit sampai aku menghampirinya dan bertanya apa yang
sakit. Dia lalu akan memelukku sambil tertawa terbahak-bahak. Dia
lupa, itu adalah dulu, saat cintaku masih membara, sekarang apa lagi yang aku miliki?
Begitu seterusnya, setiap malam aku mendengar suara orang mengerang
sampai anakku lahir. Hampir setiap hari dia selalu membeli barang-barang
perlengkapan bayi, perlengkapan anak-anak dan buku-buku bacaan untuk
anak-anak. Setumpuk demi setumpuk sampai kamarnya penuh sesak dengan
barang-barang.
Aku tahu dia mencoba menarik simpatiku tetapi
aku tidak bergeming. Terpaksa dia mengurung diri dalam kamar, malam hari
dari kamarnya selalu terdengar suara pencetan keyboard komputer.
Mungkin dia lagi tergila-gila chatting dan berpacaran di dunia maya
pikirku. Bagiku itu bukan lagi suatu masalah.
Suatu malam di
musim semi, peruntuku tiba-tiba terasa sangat sakit dan aku berteriak
dengan suara yang keras. Dia segera berlari masuk ke kamar, sepertinya
dia tidak pernah tidur. Saat inilah yang ditunggu-tunggu olehnya. Aku
digendongnya dan berlari mencari taksi ke rumah sakit.
Sepanjang jalan, dia mengenggam dengan erat tanganku, menghapus keringat
dingin yang mengalir di dahiku. Sampai di rumah sakit, aku segera
digendongnya menuju ruang bersalin. Di punggungnya yang kurus kering,
aku terbaring dengan hangat dalam dekapannya. Sepanjang hidupku, siapa
lagi yang mencintaiku sedemikian rupa jika bukan dia?
Sampai
dipintu ruang bersalin, dia memandangku dengan tatapan penuh kasih
sayang saat aku didorong menuju persalinan, sambil menahan sakit aku
masih sempat tersenyum padanya. Keluar dari ruang bersalin, dia
memandang aku dan anakku dengan wajah penuh dengan air mata sambil
tersenyum bahagia.
Aku memegang tangannya, dia membalas
memandangku dengan bahagia, tersenyum dan menangis lalu terjerambab ke
lantai. Aku berteriak histeris memanggil namanya.
Setelah
sadar, dia tersenyum tetapi tidak bisa membuka matanya, aku pernah
berpikir tidak akan lagi meneteskan sebutir air matapun untuknya, tetapi
kenyataannya tidak demikian, aku tidak pernah merasakan sesakit seperti
saat ini
. Kata dokter, kanker hatinya sudah sampai pada
stadium mematikan, bisa bertahan sampai hari ini sudah merupakan sebuah
mukjizat. Aku tanya kapankah kanker itu terdeteksi? 5 bulan yang lalu
kata dokter, bersiap-siaplah menghadapi kemungkinan terburuk. Aku tidak
lagi peduli dengan nasehat perawat, aku segera pulang ke rumah dan ke
kamar nenek lalu menyalakan komputer.
Ternyata selama ini suara
orang mengerang adalah benar apa adanya, aku masih berpikir dia sedang
bersandiwara. Sebuah surat yang sangat panjang ada di dalam komputer
yang ditujukan kepada anak kami. "Anakku, demi dirimu aku terus
bertahan, sampai aku bisa melihatmu. Itu adalah harapanku.. Aku tahu
dalam hidup ini, kita akan menghadapi semua bentuk kebahagiaan dan
kekecewaan, sungguh bahagia jika aku bisa melaluinya bersamamu tetapi
ayah tidak mempunyai kesempatan untuk itu.
Didalam komputer
ini, ayah mencoba memberikan saran dan nasehat terhadap segala
kemungkinan hidup yang akan kamu hadapi. Kamu boleh mempertimbangkan
saran ayah. "Anakku, selesai menulis surat ini, ayah merasa telah
menemanimu hidup selama bertahun-tahun. Ayah sungguh bahagia. Cintailah
ibumu, dia sungguh menderita, dia adalah orang yang paling mencintaimu
dan adalah orang yang paling ayah cintai".
Mulai dari kejadian yang mungkin akan terjadi sejak TK , SD , SMP, SMA sampai kuliah, semua tertulis dengan lengkap didalamnya.
Dia juga menulis sebuah surat untukku. "Kasihku, dapat menikahimu adalah hal yang paling bahagia aku rasakan dalam hidup ini.
Maafkan salahku, maafkan aku tidak pernah memberitahumu tentang
penyakitku. Aku tidak mau kesehatan bayi kita terganggu oleh karenanya.
Kasihku, jika engkau menangis sewaktu membaca surat ini, berarti kau
telah memaafkan aku. Terima kasih atas cintamu padaku selama ini.
Hadiah-hadiah ini aku tidak punya kesempatan untuk memberikannya pada
anak kita.. Pada bungkusan hadiah tertulis semua tahun pemberian
padanya".
Kembali ke rumah sakit, suamiku masih terbaring
lemah. Aku menggendong anak kami dan membaringkannya diatas dadanya
sambil berkata: "Sayang, bukalah matamu sebentar saja, lihatlah anak
kita. Aku mau dia merasakan kasih sayang dan hangatnya pelukan ayahnya".
Dengan susah payah dia membuka matanya, tersenyum. Anak itu
tetap dalam dekapannya, dengan tangannya yang mungil memegangi tangan
ayahnya yang kurus dan lemah. Tidak tahu aku sudah menjepret berapa kali
momen itu dengan kamera di tangan sambil berurai air mata.
Teman-teman terkasih, aku membagi cerita ini kepada kalian, agar kita
semua bisa menyimak pesan dari cerita ini. Mungkin saat ini air mata
kalian sedang jatuh mengalir atau mata masih sembab sehabis menangis,
ingatlah pesan dari cerita ini: "Jika ada sesuatu yang mengganjal di
hati diantara kalian yang saling mengasihi, sebaiknya utarakanlah jangan
simpan didalam hati".
Siapa tau apa yang akan terjadi besok?
Ada sebuah pertanyaan: Jika kita tahu besok adalah hari kiamat, apakah
kita akan menyesali semua hal yang telah kita perbuat? atau apa yang
telah kita ucapkan?
Sebelum segalanya menjadi terlambat,
pikirlah matang-matang semua yang akan kita lakukan sebelum kita
menyesalinya seumur hidup.
*****
Semoga kita dapat mengambil pengetahuan yang bermanfaat dan bernilai ibadah ..
Wabillahi Taufik Wal Hidayah, ...
... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ..
#BERSIHKAN HATI MENUJU RIDHA ILAHI#
------------------------------------------------
.... Subhanallah wabihamdihi Subhanakallahumma Wabihamdika Asyhadu Allailaaha Illa Anta Astaghfiruka Wa'atuubu Ilaik ....
.
# Sumber :
http://terimakasihibu.blogspot.com/2011/03/sebuah-kisah-salah-pengertian-yang.html