Setelah Kau Menikahiku 3
(Pernikahan Simulasi Part 3)
Pernikahan Simulasi [Bagian 3]
Wajah Idan benar-benar merah sekarang. "Upit! Jangan main-main
denganku! Aku tidak mau kau menolak pergi jalan-jalan lalu menghukumku
dengan cemberut sepanjang hari begini. Mandi sekarang. Kita pergi
setengah jam lagi."
"Aku bukan budakmu. Jangan suruh-suruh aku. Dan aku tetap tak mau pergi."
"Oke. Terserah!
Kalau kau mau duduk di sini seharian, makan es krim dan cokelat sambil
mengasihani diri sendiri dan melar dan melar dan melar dan melar...."
"Idan!" jeritku sambil melempar kotak es krim itu ke arahnya. Ia
terlambat mengelak dan sisa es krim yang telah mencair melumuri
t-shirtnya.
Aku lari ke kamarku, membanting pintunya dan
melempar diri ke ranjang, sesenggukan. Kudengar ia memaki dan menendang
pintu. Saat itu aku takut, takut sekali. Ia seperti telah menjadi
manusia lain yang tak kukenali sama sekali, asing dan mengerikan.
Kututup telingaku dengan bantal dan aku terus menangis hingga
tenggorokanku yang sakit dan kepalaku yang berat memaksaku tertidur
kelelahan.
Sorenya aku keluar mengendap-endap. Idan pasti
telah pergi memancing. Memikirkan bahwa ia pergi sementara aku masih
menangis karena kata-kata kasarnya membuatku makin marah kepadanya. Kali
ini aku yakin tak ada pilihan lain kecuali meninggalkannyadan kembali
ke rumah orang tuaku. Maka selesai mandi aku segera memasukkan semua
pakaianku ke dalam kopor.
Saat itu Idan datang. Ia kedengaran
sangat gembira, bersiul-siul sejak ia memasuki pintu gerbang. Siulannya
berhenti saat ia melihat koporku dari pintu kamar yang terkuak.
"Apa-apaan ini, Pit? " tanyanya.
"Aku pulang ke rumah Ibu."
Ia masuk dan duduk di atas kasurku, mengawasi gerak-gerikku. "Semudah ini kau menyerah?"
"Ini diluar dugaanku."
"Apa?"
"Aku tidak mengira aku menikahi monster."
Idan terdiam, menunduk.
"Aku...," katanya lirih. "Aku bawa pizza kesukaanmu."
"Aku sudah terlalu gemuk."
Ia menggeleng dengan ekspresi bersalah, "Tidak. Kau cantik."
"Aku tidak butuh pendapatmu. Kau bukan suamiku, ingat? Penilaianmu tidak punya arti apa-apa."
"Aku sudah mencoba jadi suami yang baik."
"Kau gagal."
"Setidaknya aku mencoba. Kau... kau tidak melakukan apapun supaya pernikahan kita berhasil...."
"Simulasi."
Ia menghela napas panjang dan mengangguk singkat. "Simulasi."
"Kau salah, Dan. Aku sudah melakukan terlalu banyak. Sudah belajar
terlalu banyak. Dan aku sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan
menikah. Aku tidak suka menikah. Apalagi denganmu."
Ia tak
mengatakan apa-apa, lama sekali. Ketika ia keluar dari kamarku, aku
ambruk ke atas tempat tidur. Semua topeng ketegaranku hancur
berkeping-keping. Aku tak pernah menduga Idan bisa menyakitiku sehebat
ini. Lama kemudian. setelah aku bisa sedikit menguasai diri, aku
bangkit. Kurapikan dandananku dan kuseret koporku keluar.
"Setidaknya tunggulah sampai hujan reda," suara Idan menyambutku.
"Terlalu lama," gumamku. "Aku tidak bisa tinggal denganmu selama itu."
Aku tak peduli hujan yang serta merta meng guyurku basah kuyup Saat
aku membuka pintu gerbang. Meninggalkan Idan secepatnya, hanya itu yang
ada di benakku. Dan ketika mobilku mulai tersendat terendam genangan air
hujan hanya lima puluh meter dari rumah, aku begitu berang dan putus
asa hingga aku keluar dari mobil dan menendang pintunya, meninju
atapnya, air mataku larut dalam siraman hujan.
Saat itu aku melihat Idan datang. Tanpa mengatakan apa-apa ia mencabut kunci mobilku dan mengunci mobil itu dari luar.
"Ayo pulang," katanya.
Aku menggeleng tanpa berani menatap wajahnya.
Dan ia mengangkatku, menggendongku, tanpa menghiraukan perlawananku.
Ia membopongku sampai ke rumah, tak memberiku kesempatan untuk melarikan
diri.
Setiba di dalam, ia mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di saku.
"Ganti bajumu," katanya.
"Semua bajuku di dalam kopor."
"Ambil bajuku."
"Tidak akan pernah!"
Ia mencengkeram pergelangan tanganku dan menatapku lurus dengan mata
berkobar, "Ini bukan waktunya melawanku, Pit. Kau bisa sakit!"
"Monster," desisku.
Malam itu suhu tubuhku menanjak naik, kepalaku sakit dan tenggorokan
nyeri. Aku masih ingat saat Idan menyuruhku menelan sebutir tablet
penurun panas dan aku membangkang. Ketika abangku datang untuk memeriksa
keadaanku, aku masih bisa menangis dan merengek minta diantar pulang ke
rumah orang tuaku.
Setelah itu semuanya kabur. Kesadaranku
kembali dalam kelebatan-kelebatan singkat. Ketika aku terjaga dan
menemukan Idan tengah mengganti kain kompres di dahiku, sentuhannya
begitu sejuk dan menenteramkan. Ketika aku tiba-tiba tersentak dari
salah satu mimpi burukku dan mendapati Idan tengah membersihkan ceceran
muntahku di lantai. Ketika aku terbangun dari tidurku yang gelisah dan
merasakan tangannya erat menggenggam jemariku.
Hingga
akhirnya, entah setelah berapa lama, aku terbangun dan nyala api dalam
kepala dan dadaku telah padam. Jendela kamarku terbuka dan cahaya
matahari hangat menerobos masuk, membawa aroma melati dari rumpun di
luar kamarku. Ibuku tengah duduk di dekat jendela, membaca.
"Ibu."
Ibuku menurunkan korannya. Senyumnya mengembang saat ia menghampiriku. "Bagaimana? Sudah enakan?"
"Idan mana?" bisikku.
Ah, pertanyaan bodoh. Mungkin seharusnya aku bertanya dimana aku
sekarang atau setidak-tidaknya siapa namaku. Kenapa pertanyaan pertamaku
harus tentang Idan? rutukku pada diri sendiri.
"Masih di kantor. Sebentar lagi juga pulang."
Aku sakit dan dia pergi ke kantor. Suami teladan.
"Ibu sudah berapa lama di sini?"
"Dari pagi. Kau tidak ingat ibu datang pagi tadi?"
Aku mencoba menggeleng dan kepalaku serta merta terbelah tiga. Tapi
yang paling menyakitkanku adalah, Idan sama sekali tak peduli aku sakit.
Aku berbalik dan memejamkan mata. Air mataku yang panas luruh
satu-satu.
Sore itu ketika Idan pulang, aku berpura-pura tidur. Aku sama sekali belum siap untuk bicara lagi dengannya.
"Bagaimana, Bu?" tanyanya, suaranya mendekati tempat tidurku. Dan
kemudian tangannya hinggap di dahiku, sejuk dan membawa ketenangan.
Dengan punggung tangannya ia menyentuh leherku, dan kalaupun aku sanggup
menepiskan tangannya dengan tenagaku yang nyaris nihil, aku tak akan
mau melakukannya.
"Tadi bangun sebentar, menanyakan kamu. Lalu tidur lagi. Tapi panasnya sudah turun dan tadi siang sudah mau minum susu."
Tangan Idan berpindah ke bahuku dan mulai memijat dengan lembut.
Jangan berhenti, jangan berhenti, jangan berhenti, pintaku dalam hati.
Tapi ia bangkit dan merapikan selimutku sambil terus bicara dengan
ibuku.
"Kalau Ibu capai, Ibu bisa ambil cuti besok."
Ibu tertawa kecil. "Kau sendiri? Kau tidak tidur entah berapa malam dan
kau mengerjakan semuanya. Mencuci, membersihkan rumah, mengurus Upit.
Apa kau tidak capai?"
"Saya pakai baterai Energizer, Bu."
Ibu tertawa lagi, "Idan, Idan. Kau mesti istirahat juga. Kalau kau
sakit, Ibu tidak yakin Upit bisa mengurusmu sesabar kau merawat dia."
Ibu! Idan itu hanya menantu Ibu! Cuma simulasi pula!
"Sudah tanggung jawab saya, Bu."
Alangkah klisenya!
Sunyi. "Kau betul-betul tidak butuh bantuan Ibu?"
"Terima kasih. Kalau ada apa-apa, saya pasti telepon Ibu lagi."
"Baik kalau begitu. Kau tinggal menyuapinya nanti malam, jangan lupa
obatnya. Kalau ia mau, ibu sudah masak bubur di dapur. Kalau tidak, beri
saja apa yang dia mau."
"Ya, Bu."
"Dan jangan tidak tidur lagi nanti malam. Upit sudah baikan."
"Baik, Bu."
Dan saat itu juga aku bersumpah akan membuat malam itu mimpi buruk untuknya.
Aku ingin menghukumnya karena kata-katanya yang menyakiti perasaanku.
Aku ingin menghukumnya karena ia ymelukai harga diriku. Dan aku ingin
menghukumnya karena ia membuatku benci pada diriku sendiri. Ia yang
membuatku sakit dan entah berapa lama tak berdaya, bahkan terpaksa
membiarkannya mengurusku seperti bayi.
Ia harus membayar untuk
semua penghinaan itu. Aku benci, sangat benci padanya. Aku membuat
segalanya sangat sulit untuk Idan malam itu. Aku memberontak saat ia
mencoba menyuapiku. Aku menolak saat ia memintaku makan obat.
Aku memintanya membuka jendela karena aku kepanasan, lalu menutupnya
lagi, karena aku kedinginan, lalu membuka lagi, menutup lagi entah
berapa belas kali. Aku memintanya membuatkanku susu yang tidak kuminum,
merebuskan mi instan yang tidak kumakan, menyiapkan roti yang kubuang
kelantai, mengupaskan apel yang kubiarkan di meja hingga berubah coklat
dan memasakkan omelet yang hanya kucuil sedikit. Pijatannya dikakiku
terlalu keras, terlalu lembek, terlalu kasar, tidak terasa. Dan saat ia
mulai terkantuk-kantuk di kursi, aku membangunkannyauntuk menyalakan
televisi agar aku bisa menyuruhnya mengganti saluran tiap kali ia mulai
mengangguk terlelap.
Semua itu akan membuatku sangat puas
kalau saja Idan mau menolak, memprotes, mengeluh, atau bahkan marah dan
memakiku seperti dulu. Tapi ia sama sekali tidak mengeluh, tidak
membantah. Kesabarannya merusak segalanya. Makin lama aku makin
menyadari kelembutan dalam suaranya ? yang hanya bisa lahir dari
kekhawatiran -- dan kelelahan di matanya ? yang aku tahu hanya bisa
datang dari keputusasaan.
Aku dibuatnya merasa bersalah,
karena aku sadar ia juga tengah menyalahkan dirinya sendiri, menghukum
dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang kulakukan. Dan
kebencianku justru musnah dan berganti kasihan, sesuatu yang sama sekali
tak kuharapkan, tapi tak bisa kuelakkan.
Menjelang fajar,
saat mengawasinya tertidur meringkuk di kursi, aku mengingat lagi
pertengkaran yang menerbitkan kebencian itu. Aku mengulang lagi setiap
kalimat yang kuucapkan, dan aku tiba-tiba merasa malu. Kenapa semuanya
harus terjadi hanya karena sesuatu seremeh itu. Selama dua puluh tahun
persahabatanku dengan Idan, hobi dan kegemarannya tak pernah membuatku
merasa terganggu. Masih banyak hal lain yang menyenangkan darinya.
Kenapa aku sampai bisa melupakan itu dan membiarkan kemarahan sesaat
membutakanku?
Aku tahu permintaanku wajar. Aku tahu aku berhak
meminta Idan menemaniku ke mana pun. Dan ia juga sama bersalahnya
denganku karena mengobarkan pertengkaran konyol itu. Hanya saja ia lebih
berbesar hati untukmenyingkirkan pertengkaran itu sementara aku justru
memupuk dendam dan benci padanya. Jadi siapa sebenarnya pemenang dalam
kontes kedewasaan ini?
Ketika aku terbangun esok paginya, Idan
menyambutku dengan baki sarapan pagi dan senyum lebar. Ia membantuku ke
kamar mandi dan aku tidak memprotes ketika ia memintaku untuk tidak
mengunci pintu. Ia telah menyediakan bangku di dekat wastafel agar aku
tak perlu berdiri saat menggosok gigi. Di rak ia telah menyediakan
pakaian bersih untukku dan bahkan meletakkan bedak dan sisirku, hingga
saat aku keluar dari kamar mandi, aku merasa jauh lebih segar dan hidup.
Ketika aku kembali ke kamar, aku melihat spreiku telah diganti, mejaku
telah rapi kembali dan bunga di dalam vas di dekat tempat tidurku telah
diganti dengan yang baru. Ketika Idan duduk di pinggir ranjangku,
menambahkan gula pada susu cokelatku dan mengupaskan telur sarapan
pagiku, aku hampir menangis karena terharu.
"Kau tidak ke
kantor? " tanyaku mencoba membuka percakapan; kata-kata ramah pertama
yang kuucapkan padanya setelah pertengkaran kami.
"Ini hari Minggu, Pit."
"Aku sudah sakit selama seminggu ?" bisikku tak percaya.
"Ya," Idan tersenyum. "Tapi aku senang kau sudah sembuh sekarang. Aku tidak bisa tenang di kantor memikirkanmu."
"Ibuku kan di sini."
"Ya. Aku terpaksa memintanya datang. Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaanku minggu lalu. Maaf."
Aku menunduk, bersembunyi dari ketulusan di matanya. Kulirik jam di
atas mejaku. Pukul setengah delapan pagi. "Tidak main bola?"
Ia menggeleng sambil mengolesi sepotong roti lagi dengan selai nenas.
"Aku mau memberi kesempatan pada Agus. Sudah dua bulan dia cuma duduk di
bangku cadangan."
Aku tersenyum.
"Dia kurang berani menyerang. Tidak segesit aku. Maklum sudah agak gemuk. Tapi, siapa tahu," ia mengangkat bahu dan tersenyum.
"Kau mau pergi memancing nanti sore?"
Ia menggeleng lagi.
"Kenapa?"
"Aku harus memberi kesempatan ikan-ikan itu berkembang biak, Pit. Kalau kutangkapi terus, mereka bisa punah."
"Kalau kau memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku kepada mereka, ya."
"Terima kasih untuk apa?"
Untuk menunjukkan sisi lain dari Idan yang tidak kuketahui sebelumnya,
batinku. Tapi yang keluar dari mulutku adalah, "Karena meminjamkanmu
untukku hari ini."
Senyum Idan serta merta surut. Diulurkannya
tangannya dan disentuhnya lenganku. "Lain kali kalau kau ingin kuantar
ke manapun, bisakah kau bilang minimal sehari sebelumnya? Bukannya aku
tidak mau, tapi kalau aku sudah berjanji dengan teman-temanku, aku tidak
bisa begitu saja membatalkannya kan?"
Aku mengangguk dengan leher tersumbat.
"Aku juga janji tidak akan sering nonton film action lagi," katanya kemudian.
"Kita memang perlu ngobrol lebih sering. Jangan menangis, Pit Nanti air jerukmu asin."
--------
"Selamat ulang tahun, Pit."
Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu. "Idan! Untuk apa kau sepagi ini di kamarku!"
"Memberimu selamat ulang tahun," jawabnya polos. Dan ia bangkit dari
kursinya di sisi tempat tidur dan menarikku hingga berdiri.
"Ayo! Aku mau menunjukkan hadiah ulang tahunmu dariku!"
Ia menyeretku ke ruang kerja dan menyuruhku duduk di depan komputerku.
Ada dua komputer di ruangan itu, satu milik Idan, yang sarat dengan
berbagai programming software yang digunakannya untuk bekerja. Dan satu
lagi milikku, lebih sederhana dan tidak secanggih milik Idan.
Idan menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku dengan mata berbinar.
Sambil tersenyum geli, aku mencoba menebak apa yang telah disiapkan Idan
untukku. Puisi? Personal website, dengan foto dan lagu? Aku menggeleng
dalam hati, Idan tidak cukup romantis untuk itu.
"Kau lihat?" Idan memotong renunganku.
"Apa?"
"Hadiahku."
Keningku berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan tampilan komputer
itu. Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik tombol Start. Tidak ada yang
berubah. Tapi Idan kentara sekali menjadi semakin antusias. Setelah
membuka file-file-ku dan sekali lagi tidak menemukan apa pun, aku
berpaling kepada Idan dengan ekspresi tak berdaya.
"Kau tidak menemukannya?" tanya Idan, dengan setitik kecewa dalam suaranya.
Aku menggeleng.
"Aku menambah memori komputermu," akunya kemudian. Dan melihat raut wajahku yang tak berubah, menambah.
"Komputermu sekarang bisa bekerja lebih cepat."
Aku ingin sekali berbagi kegembiraannya.Ia kelihatan begitu bangga
dengan hadiahnya, setidaknya beberapa detik yang lalu, sebelum ia sadar
bahwa aku kecewa.
"Oh," hanya itu yang bisa kukatakan. "Terima kasih."
"Kau boleh memelukku kalau mau," katanya tersenyum dan membentangkan
kedua tangannya. Kupukul lengannya dan tertawa. Dan pagi itu berlalu
seperti hari-hari kemarin.
Di kantor teman-temanku menyambutku
dengan ucapan selamat dan senyum pernuh arti. Ketika aku memasuki ruang
kerjaku, aku mengerti kenapa mereka tampak seperti menyembunyikan
sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuah kotak panjang dengan tutup selofan.
Setangkai mawar putih. Sesaat jantungku rasanya berhenti berdenyut.
Hati-hati kuambil kartu yang menempel pada kotak itu, lupa seketika
kepada teman-temanku yang pasti mengawasi lewat kaca ruang kerjaku.
Selamat ulang tahun. Masih ingatkah kau kepadaku? Jika ya, aku menunggu di tempat biasa. Mungkinkah?
Aku keluar untuk makan siang lebih awal, mengabaikan godaan teman-temanku yang tak kenal ampun.
(Bersambung kepart 4
ღ✫¸.•°*”˜Merenda Nuansa Cinta˜”*°•.✫ღ
Anietha Love
Setelah Kau Menikahiku 3 (Pernikahan Simulasi Part 3)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Blog Subscription
-
Follow me
You can follow my updates on Twitter
-
My Facebook
You can follow my updates on Facebook
-
Posts RSS
Read my full posts on your favorite feed reader
Search this blog
Labels
- “Menggapai Berkah Dunia Akhirat” (10)
- ~*~Cerbung~*~ (9)
- ~Menikah~ (2)
- ♥¸.•*~♥Merenda Nuansa Cinta♥¸.•*~♥ (29)
- ♥❀❤ ♥Cinta♥Takwa♥Syurga♥❀❤ (5)
- ♪♫•*¨*•.¸¸❤¸¸.•*¨*•♫♪Aku Merindui MU♪♫•*¨*•.¸¸❤¸¸.•*¨*•♫♪ (13)
- Anietha Love (1)
- Anietha loVe... (39)
- Anugrah Terindah (3)
- Azab neraka (9)
- cinta dan sayang (1)
- Diare Cinta.... (5)
- kata mutiara (1)
- kesehatan.. (1)
- Natasya Love (17)
- Renungan diri (11)
- sebuah catatan (5)
- senandung rindu (1)
- suara hati (1)
- sweet love (2)
- Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒεїз Senandung Do'a εїзƸ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ (19)
Arsip Blog
-
▼
2012
(112)
-
▼
Desember
(19)
- ♥ Keutamaan Sayyidul Istighfar ♥
- SURAT KEMATIANMU ....
- Keutamaan Bersetubuh Malam Jum'at
- setelah kau menikahiku 9. perkawinan simulasi(9).
- Setelah Kau Menikahiku 8 (Pernikahan Simulasi Part 8)
- Setelah Kau Menikahiku 7 (Pernikahan Simulasi Part 7)
- Setelah Kau Menikahiku 6 (Pernikahan Simulasi Part 6)
- Setelah Kau Menikahiku 5 (Pernikahan Simulasi Part 5)
- Setelah Kau Menikahiku (Pernikahan Simulasi Part 4)
- Setelah Kau Menikahiku 3 (Pernikahan Simulasi Part 3)
- Setelah Kau Menikahiku (Pernikahan Simulasi Part 2)
- ~CERBUNG~Setelah Kau Menikahiku (Pernikahan Simul...
- ::::.. HASBUNALLAH WA NI'MAL WAKIL ..::::
- Bersediakah Ukhty Jadi Istri Kedua Saya? ...
- RIDHO SUAMI itu adalah SURGA bagimu wahai PARA IST...
- ~Surat untuk seorang akhwat ...
- ISTRIKU…BERHENTILAH MENGELUH ...
- ::ADAKALANYA KENYATAAN TIDAK SEINDAH IMPIAN::
- ♥ UNTUK MU YANG SEDANG DALAM PENANTIAN ♥
-
▼
Desember
(19)
Translate
Popular Posts
-
Cerbung Setelah Kau Menikahiku (Pernikahan Simulasi Part 1) ”Aku sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang harus menikah,&qu...
-
RUMUS MENGHITUNG MASA HAID ............ Fiqih Wanita ............... Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,..... Dikataka...
-
Do'a Mohon Keberkahan اَللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالِي وَوَلِدِيْ ، وَبَارِكْ لِي فِيْمَا أَعْطَيْتَنِيْ ، وَأَطِلْ حَيَاتِيْ عَلَى ...
-
... ADAB JIMA' DAN CARA BERHUBUNGAN INTIM SUAMI ISTRI DALAM ISLAM (Khusus Dewasa) ... Bismillahir-Rahmaanir-Rahi m ... Hari i...
-
Bismillah,,,, ~** Akhi, kutunggu khitbahmu **~ [Ya Rabbi, ajarilah kami untuk bijak dalam berpikir, santun dalam bersikap dan bertu...
-
※"KUAT KAN LAH HUBUNGAN KAMI YA ALLAH"※ Ku mendesah berjalan menempuh ingin berteduh dari segala keluh&gaduh.. Kasih.. K...
-
Yang berlalu biarlah berlalu, karena bagaimanapun semua telah berakhir. Biarkan semuanya tenggelam bersama matahari. Tidak usah mena...
-
Kisah Indah Malam Pertama Seorang Pengantin Muslimah... Bismillah ...Setelah melaksanakan shalat Maghrib dia berhias, menggunakan gau...
-
UNTUKMU CALON MAKMUMKU... Bismillaahirrahmaanirrahiim,, Duhai Ukhty,,, Terurai kata seuntai Do'a slalu ku panjatkan Kepada AL...
-
Untuk Calon Istri Dalam Penantian... Maafkanlah bila kuputuskan TALI cinta kita... Maafkanlah bila kubuang rasa RINDU didada... Maa...
Mengenai Saya
Total Tayangan Halaman
~~~MERINTIS PERJALANAN CINTA'KU ~~~
Tersenyumlah meski hati terluka!
yakinlah Allah hanya menguji iman kita,
mungkin kita pernah menangis kala bahagia,
karena takut kebahagiaan cinta ini akan sirna begitu saja,
''PENANTIAN'KU''
Ya Rabbku,
Tak terasa waktu terus menanjak,
Dan usiapun terus bertambah,
Kaki pun terus menapak,
Di atas garisan taqdir-Mu,
Langkah sendiriku tanpa pimpinan,
Langkah sendiriku tanpa penuntun,
Langkah sendiriku tanpa Imam,
Dan Engkaulah yang selalu jadi Teman sendiriku,
Kadang lelah menghujam,
Saat hati terantuk batu ujian,
Kadang gundah datang menyerang,
Saat langkah tiba di persimpangan,
Namun Engkaulah penyembuh dan penunjuk jalanku.
Ya Ilahi Rabbi,
Langkahku akan goyah tanpa kekuatan kasih-Mu,
Langkahku akan goyah tanpa bimbingan-Mu,
Langkahku akan goyah tanpa tuntunan-Mu
Dan langkahku akan goyah tanpa campur tangan-Mu.
Semua telah menjadi ketetapan-Mu,
Semua telah menjadi kepastian-Mu,
Dan semua telah Engkau tulis di Lauh Mahfudz bagianku,,,,,
Rencana-Mu tak mampu kureka,
Ketetapan-Mu tak mampu ku duha,
Namun kuyakin itu senantiasa baik dan indah untukku. Sesuai kehendak-Mu.
Ya Allah Ilahi Rabbi,
Aku akan lemah tanpa seorang teman,
Yang akan menemani sendiriku memaknai semua yang Engkau sajikan,
Karena dunia-Mu sarat dengan godaan,
Yang setiap saat dapat menyesatkan Iman,
Penantian ini terasa panjang dan melalahkan, jika belum segera di akhirkan,,,,
Ya Rabbi, segerakan aku seorang Imam, sebagai penyempurna separuh agamaku.
Seorang Insan pilihan yg terbaik Sesuai kehendak-Mu dan dlm ridha-Mu.
Aamiin Ya Rabb'alamiin,,,,,
Tak terasa waktu terus menanjak,
Dan usiapun terus bertambah,
Kaki pun terus menapak,
Di atas garisan taqdir-Mu,
Langkah sendiriku tanpa pimpinan,
Langkah sendiriku tanpa penuntun,
Langkah sendiriku tanpa Imam,
Dan Engkaulah yang selalu jadi Teman sendiriku,
Kadang lelah menghujam,
Saat hati terantuk batu ujian,
Kadang gundah datang menyerang,
Saat langkah tiba di persimpangan,
Namun Engkaulah penyembuh dan penunjuk jalanku.
Ya Ilahi Rabbi,
Langkahku akan goyah tanpa kekuatan kasih-Mu,
Langkahku akan goyah tanpa bimbingan-Mu,
Langkahku akan goyah tanpa tuntunan-Mu
Dan langkahku akan goyah tanpa campur tangan-Mu.
Semua telah menjadi ketetapan-Mu,
Semua telah menjadi kepastian-Mu,
Dan semua telah Engkau tulis di Lauh Mahfudz bagianku,,,,,
Rencana-Mu tak mampu kureka,
Ketetapan-Mu tak mampu ku duha,
Namun kuyakin itu senantiasa baik dan indah untukku. Sesuai kehendak-Mu.
Ya Allah Ilahi Rabbi,
Aku akan lemah tanpa seorang teman,
Yang akan menemani sendiriku memaknai semua yang Engkau sajikan,
Karena dunia-Mu sarat dengan godaan,
Yang setiap saat dapat menyesatkan Iman,
Penantian ini terasa panjang dan melalahkan, jika belum segera di akhirkan,,,,
Ya Rabbi, segerakan aku seorang Imam, sebagai penyempurna separuh agamaku.
Seorang Insan pilihan yg terbaik Sesuai kehendak-Mu dan dlm ridha-Mu.
Aamiin Ya Rabb'alamiin,,,,,
~~~***LoVe***~~~
ANGAN'KU
Menurutku menulis adalah suatu kebebasan,
luapan rasa yang tercurah dari hati penuh kejujuran,
dan aku memang bukan siapa-siapa,
mungkin buat sebagian orang coretanku tidaklah penting, tapi bagiku itu adalah nyawa pena hati,
yg selalu bersemayam dan terpatri didalam jiwa.
karya-karyaku adalah nyanyian jiwaku,
semoga apa yang telah tergores dapat bermanfaat,
juga dapat memberi ruang bagi jiwa-jiwa yang lain untuk berekspresi.
biarkan jari jemari menarikan penanya dengan lincah,
hingga terciptalah mahakarya penuh cinta.
Terimakasih Tuhan atas segala karunia yg telah KAU beri,
trimakasih untuk kedua orang tuaku, juga trimakasih untuk orang-orang yang telah memberiku banyak cinta dan kasih,
yang telah memberiku support dalam berkarya.
Thank you for everything.
Pengikut
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar