Setelah Kau Menikahiku 5 (Pernikahan Simulasi Part 5)

Setelah Kau Menikahiku 5
(Pernikahan Simulasi Part 5)

Pernikahan Simulasi (Bagian 5)

"Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku terpaksa menunda proses perceraian itu. Idan baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas bicara soal perceraian saat ini."

"Berapa lama?"

"Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin."

"Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku tidak bisa menunda kepulanganku ke Jerman. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke sini lagi. Mungkin tidak dalam setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu yang mestinya bisa kita lewati berdua."

"Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan sekarang. Dia membutuhkan aku."

"Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan pikirkan dirimu sendiri. Apa kau tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?"

Aku menghela napas panjang. "Entahlah, Pram, " bisikku.

"Apa maksudmu?" suara Pram terdengar kaget.

"Aku.... Aku tidak akan bahagia kalau Idan menderita."

"Ita! Kau tidak.... Dengar, pikir baik-baik. Menurutmu, kalau kau tersiksa hidup dengannya, ia akan bahagia?"

"Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya."

"Tapi kau tidak bahagia!"

"Aku bahagia, Pram. Mungkin tidak seperti saat aku bersamamu. Tapi Idan membuatku bahagia."

"Kau tidak bisa melakukan ini, Ta. Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentar lagi kau akan berubah pikiran dan saat itu kau akan menyesal karena membuang kesempatan ini."

"Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri."

"Ita, kau tidak mencintainya!"

"Ia mencintaiku. Itu lebih dari cukup."

"Kau hanya bingung, Ta. Aku mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku sangat mencintaimu?"

"Aku tidak pernah akan lupa, Pram."

"Lantas apa yang membuatmu berubah pikiran secepat ini?"

"Idan mengajariku tentang cinta."

"Hanya karena itu?"

"Juga karena aku yakin, aku akan belajar mencintainya."

"Ita...."

"Selamat tinggal, Pram. Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya, atau mungkin lebih bahagia lagi."

Telepon kututup sebelum air mataku luruh.

"Upit."

Aku tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Idan berdiri di belakangku. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng perlahan sambil duduk di lantai di sisi kursiku.

"Kenapa?" tanyanya.

Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut ia menyeka pipiku dengan jarinya.

"Aku tak bisa melihatmu begini," lanjutnya pelan. "Ini keputusan yang sangat konyol, Pit. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu berlalu sekali lagi?"

Aku mengangguk.

"Dia akan membuatmu sangat bahagia, Pit."

Aku mengangguk.

"Kau akan menyesal."

Aku mengangguk.

"Kau akan sedih, kecewa...."

Aku mengangguk.

"Kau tidak mencintaiku."

Aku menggeleng.

Idan terbelalak. "Upit!" pekiknya tertahan. "Idan!"
Ya. Begitulah pada akhirnya status “simulasi” dalam pernikahan kami berakhir. Waktunya menghadapi keseriusan bahwa aku sekarang sudah benar-benar menjadi istri Idan yang sah meskipun sebenarnya dari awal pernikahan kami, akad itu sudah sah menurut agama karena ternyata Idan mengucapkan ijab qobulnya dengan sungguh-sungguh. Hanya aku saja yang waktu itu menganggab bahwa pernikahan kami semata-mata hanyalah simulasi belaka. Namun nyatanya? Idan serius mencintaiku yang malangnya aku tak pernah menyadarinya sebelumnya.

Dan berakhir pula hubunganku dengan Pram yang semula aku harapkan akan jadi masa depan impianku. Namun, bukankah di dunia ini apapun bisa terjadi? Segalanya bisa berubah dengan sangat cepat semudah membalikkan telapak tangan kita.

Perceraian yang kami rencanakan sebelumnya pun batal. Dan kami hanya ingin kami sajalah yang mengetahui perihal itu… Oh tidak hanya kami, tapi juga Pram yang juga mengetahuinya. Biarlah keluarga, kerabat dan teman-teman tetap menganggap tidak terjadi apa-apa yang serius di antara kami dan biarlah mereka tetap dengan anggapan bahwa kami hidup bahagia selayaknya suami istri pada umumnya.

Masih terngiang betapa terpananya Idan ketika aku bilang aku juga mencintainya. Ada gurat kebahagiaan tiada tara di wajahnya, pendar takjub di matanya dan seulas senyum di bibirnya yang entah aku masih sulit mengartikan senyum itu. Ia memelukku erat-erat seolah tidak mau lagi kehilangan diriku lagi. Dan akupun memeluknya dengan haru di wajahku yang entah kurasa cukup untuk mengatakan “Maafkan segala ketololan dan kebutaanku selama ini” karena saat itu aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Tenggorokanku begitu tercekat menahan tangisku. Tangis penyesalan atas segala kesalahan dan tangis keharuan atas keputusan besar yang baru saja aku ambil.

Aku tidak tahu seberapa besar aku mencintainya setelah semua yang telah terjadi namun hal itu sudah membuat Idan begitu bahagia. Yang jelas, sekarang aku benar-benar sedang belajar mencintainya, memulai kembali aktivitas kami seperti hari-hari awal pernikahan “simulasi” kami, dan merenda jalinan cinta sesungguhnya yang tidak pernah ada di awal pernikahan kami yang aku anggab hanya simulasi.

Aku mulai mengagumi segala kelebihan Idan dan aku mulai lagi belajar menerima kekurangannya, kebiasaan-kebiasaan buruknya dan segala kekonyolannya. Bahkan aku mulai sering menemaninya menonton film-film action kesukaannya, menemaninya bermain bola pada akhir pekan namun dengan konsekuensi, dia juga harus menemani aku jalan-jalan dan jadwalnya bergiliran. Dia juga tidak boleh protes jika aku sedang menikmati music-musik orchestra kesayanganku. Impas lah istilahnya.

Awalnya memang sangat sulit dan menyiksa diri namun ketika bad mood itu datang, kupandangi wajah Idan yang begitu bahagia saat kutemani, keantusiasannyabercerita ini-itu untuk menghiburku, ku ingat bahwa dia tidak pernah mengeluh saat aku memintanya menemani aku jalan-jalan yang mungkin sebenarya sangat membosankan baginya. Pengorbanan.

Ya, mungkin memang perlu pengorbanan dari masing-masing dalam menjaga keharmonisan hubungan dalam rumah tangga. Setidaknya, itulah salah satu hal yang kucatat ketika kami menjalani pernikahan simulasi sebelumnya.

Idan pun makin lama kurasakan makin memanjakanku. Banyak hal yang harusnya kulakukan sebagai seorang istri, malah Idan yang melakukannya. Sebelum berangkat kerja dia masih sempat menyiapkan sarapan untukku. Bahkan jika aku sedang kecapekan dan tak sempat mencuci bajuku sendiri, dia pula yang mencucikan dan menyetrikanya. Dan herannya aku tak bisa menolaknya. Justru aku menikmatinya karena dia selalu melakukan hal-hal itu dengan senyum terkembang yang sulit kuartikan. Hmm paradox sekali dengan diriku beberapa tahun lalu saat masih lajang, sebagai wanita karir yang terbiasa mandiri dan tak pernah mau membebani orang lain.

Ada apa denganku? Tapi sebisa mungkin aku mengimbanginya dengan berusaha membantu pekerjaaanya dan menemaninya melakukan aktivitas rutin jika diperlukan. Aku usahakan membuat kesan bahwa segala hal bisa kami lakukan bersama. Berdua.

Namun ada kalanya kami sibuk dengan keasyikan masing-masing. Tentu setiap orang kadang butuh sendiri. Ya seperti sekarang ini, ketika aku sibuk menimang-nimangdan menata baju-baju baru kesayanganku, Idan juga sibuk sendiri di depan computer canggih kesayangannya.

Dengan sedikit mengendap-endapkuintip ia di ruang kerjanya. Dia sedang asyik membuka-buka program yang entah aku tak tahu apa fungsinya. Serius banget. Hmm mungkin perlu sedikit dikagetkan. Pelan-pelan kubuka pintunya dan diam-diam aku berjalan di belakangnya dengan niatan menggelitikinya. Aku tahu banget kalau Idan sangat sensitif jika digelitiki dan dia bisa sampai tertawa terbahak-bahak sambil minta ampun.

Sedikit lagi sampai. Tapi sebelum aku sempat menyentuhnya, dengan cepat Idan lebih dulu menarik tanganku sehingga aku jatuh ke pangkuannya dan justru dia yang lebih dulu menggelitikiku.

“Aaaaaa hentikan!” pintaku karena akupun tak tahan digelitikin.

Idan terbahak. “Rasakan nona manis. Ini akibatnya jika berusaha menjahili orang.”

“Kok bisa tahu sih?” tanyaku heran.

Dengan masih belum berhenti menggelitikiku,mata idan melirik nakal ke kaca kecil yang terpasang di samping monitornya. Oooh ternyata cerdik juga orang ini. Dia baru berhenti menggelitikiku saat aku berontak dan balas menggelitikinya. Dia menjerit-jerit minta ampun dan melepaskanku. Aku bergegas keluar ruangan dan sebelum aku menutup pintu idan masih sempat nyeletuk.

“Jangan kira kalau pangeran tampan ini gak tahu jika sang putri suka diam-diam mengintipnya hahaha”

Huuuh. Kututup pintu ruang kerjanya dengan sebel. Dalam hati aku merutuki diriku sendiri kenapa sih akhir-akhir ini aku suka melakukan hal-hal yang aneh seperti barusan. Bikin tengsin saja. Maluuuu…!!!

***

Pagi ini aku berusaha bangun lebih pagi dari biasanya mengalahkan keinginanku untuk tidur lagi setelah subuh. Kulirik sesosok lelaki disampingku, tak seperti biasanya Idan tidur lagi. Mungkin ia sangat kecapekan setelah semalaman lembur mengerjakan proyek terbarunya. Hmm di sampingku? Iya Idan tidur di sampingku. Perlu diingat bahwa kami sekarang sudah menjadi suami-istri yang sesungguhnya. Bukan lagi “simulasi”.

Pelan-pelan aku beranjak dari tempat tidur kami. Aku keluar dan kututup pintu pelan-pelan agar Idan tidak terbangun. Tiba-tiba kubuka kembali pintu itu. Ingin sekali memandangi Idan yang tertidur pulas dengan wajah yang sama sekali berbeda dari saat dia sadar dan penuh dengan kekonyolan. Manis juga.

Aku sengaja bangun lebih pagi karena aku ingin mempraktekkan resep yang diam-diam telah kupelajari selama beberpa hari ini. Aku ingin menyiapkannya untuk sarapan Idan. Sarapan yang belum pernah kusiapkan sekalipun untuknya selama kami menjadi suami-istri. Biasanya selalu Idan yang menyiapkan sarapan kami. Maklum aku kan tadinya suka bangun telat. Dan hebatnya lagi hal itu tidak pernah diprotes oleh Idan.

Meskipun yakin aku telah hafal dan paham dengn resep masakan kemarin, tapi aku masih ragu. Kubaca-baca kembali buku resepnya. Nah, sekarang aku sudah yakin dan segera kusiapkan alat-alat dan bahannya. Duuuh Idan jangan bangun dulu ya sebelum semuanya selesai? Ini pasti akan berantakan sekali..

***

Air di panci masakanku sudah terdengar mendidih. Tandanya masakanku sudah matang. Sup santan jagung asparagus, resep yang kudapatkan dari sebuah majalah wanita langganan ibuku. Kuangkat dan kutuang ke mangkok besar pemberian Ibuku. Dari aromanya sih tercium menggiurkan. Rasanya? Perlu kucoba dulu. Kuambil sendok makan dan kurasakan sedikit. Hmm sedap juga.

Baru kali ini aku berhasil masak dengan resep yang agak rumit. Sekali lagi kucoba menyeruput satu sendok. Sedap. Tapi kenapa tiba-tiba perutku jadi agak mual? Ah paling gara-gara masih pagi dan belum makan apa-apa.

Aku angkat mangkok besar itu untuk kutaruh di meja makan. Tiba-tiba mual-mual di perut tadi kembali menyerang dengan sangat hebat dan kepalaku tiba-tiba pusing. Sekonyong-konyong tubuhku pun oleng dan tanpa sengaja mangkok besar sup panas tadi jatuh, pecah dan tumpah kemana-mana. Aku pun hampir ambruk sebelum akhirnya Idan lebih siap menyanggaku dari belakang. Ternyata dia lebih sigab demi mendengar suara pecahan mangkok porcelain yang sangat nyaring bunyinya.

“Astaga kamu kenapa Pit? Kalau lagi sakit jangan maksain diri buat masak segala! Biasanya kan aku yang nyiapin sarapan buat kita? Sori tadi aku ketiduran jadi gak sempet membuat sarapan. Tapi kita kan bisa beli di luar aja? ” Idan berkata sambil memapahku menuju kamar.

“Aku gak sakit kok tadinya” Ujarku lemah. Aku tidak bilang kalau aku hendak memberi kejutan buatnya. Malu kan jika mau memberi kejutan sekali saja langsung gagal.

Tiba-tiba mual tadi menyerang kembali. Kali ini sudah tidak bisa ditahan dan aku perlu ke kamar mandi. Aku langsung masuk kamar mandi dan kututup pintunya. Di dalam aku langsung muntah-muntah hebat. Rasanya seperti di pencet perutku. Dan setelah itu kepalaku langsung pusing-pusing.

Di luar Idan masih menungguiku di depan pintu.

“Kamu gak apa-apa kan Pit?” Tanyanya. Ada kekhawatiran dalam nada suaranya.

Aku keluar dan segera dipapah ke tempat tidurku. Aku masih diam.

“Mending hari ini kamu tidak usah masuk kerja. Aku juga akan cuti sehari ini. Akan kuantar kamu ke dokter.”

“Tidak usah Dan. Aku gapapa. Mungkin cuma masuk angin sedikit. Kamu berangat kerja aja.”

Semula Idan tetap bersikukuh akan mengantarku ke dokter. Namun setelah kuyakinkan kalau aku benar-benar tidak apa-apa akhirnya dia nurut juga. Dia berangkat ke kantor dengan enggan. Tanpa kuantar sampai ke depan, tanpa kurapikan dasinya, tanpa kucium tangannya dan tentu tanpa kebiasaannya mengecup keningku sebelum pergi.

Sebelum pergi dia masih sempat menelepon ibuku untuk mengabarkan atau lebih tepatnya mengadukan kalau aku sakit hari ini.

***

Idan memberikan telponnya padaku. Katanya ibu ingin bicara.

Pelan-pelan kuucapkan salam. Setelah menjawab salamku ibu langsung menghujaniku dengan banyak pertanyaan. Kujawab seadanya sampai pada kesimpulan sepihak dari ibu.

“Jangan-jangan kamu hamil Pit!” dari seberang sana ibu begitu histeris.

“Masak sih?” tanngapanku enteng. Aku yakin ini hanya masuk angin biasa tapi kenapa ibu bisa menyimpulkan sampai sejauh itu?

“Udah pokoknya kamu periksa ke dokter sekarang biar kamu yakin. Minta Idan mengantarmu sekarang!”

“Tapi Idan sudah beragkat ke kantor.”

“Kamu minta temenmu atau siapa lah terserah buat ngantar kamu ke dokter. Ibu gak sabar ingin tahu”

Klik! Telpon ditutup. Aduh kesannya kok maksa sih? Tapi aku penasaran juga. Masak iya sih aku hamil? Apa tanda-tandanya Cuma seperti tadi?

Daripada penasaran aku pun berangkat ke dokter. Aku masih sempat telpon ke kantor tadi buat ijin tidak masuk kerja karena gak enak badan. Aku berangkat sendirian dengan taksi. Masih sedikit pusing tapi kalau Cuma jalan beberapa meter masih kuat lah.

Aku masih bertanya-tanya:apa benar aku hamil?

(Bersambung ke Part 6)

0 komentar:

Posting Komentar