Setelah Kau Menikahiku 6 (Pernikahan Simulasi Part 6)

Setelah Kau Menikahiku 6
(Pernikahan Simulasi Part 6)

Pernikahan Simulasi (Bagian 6)

“Selamat, anda positif” Ujar dokter cantik itu sambil mengulurkan selembar kertas yang isinya tidak kumengerti.

“Maksutnya dok? Saya kena penyakit apa?”

“Anda tidak sakit, anda positif hamil sekarang” dokter itu tersenyum.

“Hamil?” tanyaku masih belum percaya.

“Iya dan selamat anda akan segera menjadi seorang ibu”

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain senyum yang kupaksakan tersungging di depan dokter itu karena di benakku masih ada sisa-sisa keterkejutan yang teramat sangat. Entah bagaimana perasaanku sekarang aku masih belum paham. Namun ada kebahagiaan tersirat di dalamnya. Kebahagiaan macam apa ini? Apakah ini rasanya jika akan menjadi seorang ibu? Rasanya akan punya anak yang lahir dari rahim sendiri? Mungkin ini seperti yang dikatakan Idan jika punya anak sendiri pasti berbeda rasanya dengan jika hanya anak angkat.

Kutelpon ibu. Kukabarkan kebenaran tebakan ibu tadi. Dari seberang sana kudengar ibu histeris bahagia.

“Sudah kau beritahu Idan?”

“Belum” jawabku pendek.

“Segera beritahu dia! Dia pasti sangat senang!”

“Iya nanti lah. Udah dulu ini taksinya sudah datang. Assalamu’alaikum”

“Oh iya. Wa’alaikumusalam”

Kututup handphoneku dan segera menyetop taksi yang lewat.

Dalam perjalanan pulang aku masih bertanya-tanya entah apa yang akan kukatakan pada Idan nanti di rumah? Dan seperti apa nanti reaksinya?

***

Sampai rumah Idan belum pulang. Masih beberapa jam lagi dia biasanya baru pulang.

Rasanya sepi sekali sendirian begini. Padahal hari-hari sebelumnya biasa saja rasanya sendirian di rumah. Kenapa tiba-tiba jadi seperti ini? Aku jadi merindukan Idan. Aku ingin dia segera pulang sekarang.

Aku beranikan diri meneleponnya. Sesaat nada tunggu terdengar nyaring di telingaku sampai akhirnya suara orang yang kutunggu-tungguitu terdengar.

“Halo Pit? Ada apa? Kamu udah baikan?”

“Kapan kamu pulang?” aku langsung pada pertanyaan intiku.

“Oh dua jam lagi aku pulang. Sabar ya? Kamu mau dibelikan lauk apa buat makan malam nanti? Mau gulai kepala kakap gak?”

“Terserah apa aja. Aku mau bilang sesuatu ke kamu” kataku. “Hati-hati di jalan nanti”

“O iya. Jaga diri baik-baik di rumah ya?”

Entah kenapa aku yang menginginkan Idan pulang cepat ternyata tidak punya cukup keberanian untuk memaksanya pulang sekarang. Aku tidak ingin lebih dulu merusak suasana karena aku ingin mengatakan sesuatu yang penting padanya nanti.

Aku tidak tahu harus ngapain sekarang sambil nunggu Idan. Akhirnya aku duduk melamun di dekat jendela sambil menunggunya pulang.

Berbagai pikiran melintas di benakku sampai aku tersadarkan oleh suara klakson di depan rumah. Tandanya Idan sudah pulang. Kuintip dari jendela lantai dua. Kulihat dia tampak lelah sekali, keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk sambil menenteng bungkusan yang aku tahu itu pasti lauk yang ia janjikan tadi.

Aku langsung turun dan menyambutnya.

“Hai Pit. Kamu tampak udah baikan sekarang” sapanya.

“Aku kan sudah bilang aku tidak apa-apa.”

“Kita langsung makan malam yuuk. Ini aku sudah bawakan gulai kepala kakap yang aku janjikan tadi.”

“Sebaiknya kamu mandi dulu dan ganti pakaian. Bau sekali” saranku padanya. Entah kenapa aku merasa keringat Idan lebih bau hari ini.

Idan menurut dan langsung ke kamar buat menaruh tas kerja, mandi dan ganti pakaian. Aku menunggunya di meja makan sambil mengeluarkan nasi yang belum sempat dimakan tadi pagi dari ricecooker.

Idan datang ke ruang makan dengan wajah yang sudah lebih segar dari yang tadi. Entah karena dia kurang bersih membilas sabun mandinya tadi atau apa, aku merasa bau sabun mandi yang dikenakan Idan masih sangat menyengat.

Kami pun mulai makan. Idan membuka bungkusannya tadi dan menuangkannya di mangkok sedang sambil bertanya,

“katanya mau bicara sesuatu padaku?”

“Iya, tapi kamu makan dulu aja. Aku takut setelah kubilangin, kamu jadi gak doyan makan nanti”

“Masak? Jadi penasaran nih. Jangan bilang kamu mau ngingetin berakhirnya kontrak pernikahan simulasi kita lagi seperti dahulu hehehe” canda Idan.

Aku melengos dan kutinju tangannya. Dia mengelak.

Sesaat kulihat gulai kepala kakap yang sepintas sangat menggiurkan. Namun saat kusendok sedikit ke piringku, tiba-tiba baunya jadi sangat menyengat dan mual-mual yang sempat menyerangku tadi pagi terasa kembali. Aku langsung lari ke kamar mandi diikuti Idan yang terkejut.

“Kamu gak apa-apa kan Pit? Kalau sakit ayo aku antarkan ke dokter.”

Di dalam kamar mandi aku masih diam karena masih menahan muntah. Barulah setelah muntahnya mereda aku keluar dan dengan dipapah Idan aku menuju kamar untuk sekedar berbaring sejenak. Saat sudah berbaring Idan menungguiku di samping tempat tidur.

“Kamu makan aja dulu. Aku lagi gak selera makan” perintahku padanya.

“Kamu masih sakit Pit. Ayo kuantar ke dokter!” Idan tidak memperdulikan perintahku tadi.

“Aku gapapa” desahku.

“Tapi jelas kamu seperti ini! Bagaimana kamu bisa bilang gapapa?”

“Aku beneran gapapa Dan. Tadi aku sudah ke dokter.”

“Kamu ke dokter? Diantar sama siapa?”

“Sendirian”

“Sendiri? Kenapa tidak minta aku buat mengantarkan tadi pagi? Kalau aku udah di kantor kenapa tidak minta ibu atau temenmu buat ngantarkan? Nanti kalau kamu pingsan di jalan gimana? Siapa yang njagain?” Idan mencercaku dengan banyak pertanyaan.

“Aku ga mau ngerepotin kamu dan ibu. Lagian aku gapapa kok. Buktinya aku gak pingsan di jalan, masih bisa pulang dan ketemu kamu?”

“Tapi Pit, aku kan suamimu? Aku jelas khawatir!” Idan tampak gemas.

“Aku tahu. Udahlah jangan diperdebatkan lagi. Aku sedang tidak punya tenaga untuk berdebat denganmu seperti biasanya. Aku cuma mau ngomong sesuatu ke kamu.”

Tatapan Idan pun melembut dan bertanya “Mau ngomong apa”

“Janji jangan kaget ya?” pintaku sambil mengulurkan jari kelingkingku sebagai tanda persetujuan janji.

Idan menyambutnya sambil berkata “Asalkan jangan bilang mau ngingetin berakhirnya kontrak pernikahan simulasi kita aja. Kalau yang itu mungkin aku akan kaget setengah mati, kena serangan jantung dan mati mendadak hehehe”

Kutinju lagi tangannya. Dia mengaduh kesakitan. Dasar Idan tak pernah berhenti mencandaiku.

“Aku hamil Dan” kataku pendek namun cukup untuk menghentikan tawa Idan seketika.

Aku menunggu reaksinya. Dia masih diam tak berkata- apa-apa sambil menatapku. Aku tak bisa membaca ada apa di balik tatapannya itu dan tiba-tiba dengan cepat Idan menarikku dan memelukku erat sambil berkata “ Aku belum pernah sebahagia ini Pit”

Aku pun turut larut dalam kebahagiaan itu. Kebahagiaan Idan. Kebahagiaan kami..

^^^^^^^^^^^^^

Aku menjalani masa-masa kehamilan selayaknya perempuan-perempuan hamil yang lainnya. Gak boleh begini, gak boleh begitu, gak bisa ini gak bisa itu, gak boleh makan ini gak boleh makan itu. Setiap hari selalu dicereweti Ibu yang tiap hari telpon buat memastikan kalau anak perempuanya ini bener-bener baik-baik saja. Menyebalkan tapi aku nikmati saja saat-saat seperti ini. Mungkin inilah asyiknya pernak-pernik jika menjadi calon ibu.

Idan juga makin memanjakanku. Tiap hari ia membelikanku berbagai macam hadiah kejutan. Katanya biar aku senang. Jika aku senang maka anak dalam kandunganku pun juga senang. Apapun yang kumau juga diusahakan oleh Idan untuk dipenuhi. Idan menuruti saja apa kata ibu yang bilang kalau orang hamil minta sesuatu tidak dituruti, maka anaknya nanti akan jadi ngileran. Ah tahayul menurutku. Emang ada penjelasan ilmiahnya?

Tapi ada untungnya bagiku karena aku jadi bisa minta apa aja ke Idan. Tapi aku juga masih perasaan karena aku juga tak mau membuat Idan makin kelimpungan di samping kesibukannya mencari nafkah yang sebenarnya aku sendiri juga mensuplai cukup banyak untuk kebutuhan rumah tangga kami.

Dalam masa kehamilan ini sebenarnya aku tidak terlalu rewel untuk masalah makanan dan susu nutrisi ibu hamil. Cuma mungkin jadi agak sensi ketika bertemu dengan makanan yang bersantan dan berbau menyengat karena bau yang dalam kondisi biasa akan tercium biasa saja, kali ini akan tercium berlipa-lipat lebih menyengat dan membuatku mual-mual.

Idan pun menyesuaikan diri dengan membuat makanan-makananyang baunya tak terlalu menyengat, jika membuat sayur menghindari yang bersantan dan dia harus rela meninggalkan makanan kesukaannya: gulai yang paling tidak harus ia hindari sampai aku melahirkan nanti. Makan di luar? Tetap tidak bisa karena jika pulang nanti pasti aku masih bisa mencium baunya.

Setiap hari Idan sibuk membuat list apa saja yang harus dibeli untuk kebutuhan bayi kami nanti. Ia bahkan membeli banyak buku-buku tentang kehamilan dan persiapan melahirkan mulai dari tips dan trik sampai buku tentang nama-nama anak yang bagus. Aku bahkan belum sempat membaca buku-buku itu. Kulihat Idan juga jarang membacanya. Lalu untuk apa dibeli? Mungkin gejolak sesaat saja karena ia masih gugup mengetahui dirinya akan menjadi calon ayah buat anak pertama kami ini.

Aku masih bekerja meskipun mungkin agak berkurang intensitasnya. Idan sudah melarangku bekerja. Namun itu berarti aku harus meninggalkan pekerjaanku sekarang dan aku gak mau itu sampai terjadi. Aku pun bersikeras kalau aku gak ngapa-ngapain justru malah akan makin bosan, susah, capek pikiran dan malah jadi gak sehat. Idan pun mengijinkanku bekerja sampai masa-masa ketika aku perlu cuti nanti dengan catatan aku tidak boleh terlalu capek, stress dan harus banyak-banyak istirahat. Aku mengiyakan saja.

Yang jelas hari-hari kehamilanku tak kurang apapun, penuh kejutan dan kebahagiaan selama ini sampai suatu sore ketika Idan pulang cepat dan mengabariku kalau ia harus tugas keluar kota.

“Aku ada tugas keluar kota Pit. Jadi kamu akan sendirian di rumah untuk beberapa waktu. Besok pagi aku berangkat”

“Kenapa tiba-tiba sekali? Sampai berapa lama? Kok harus kamu sih? Apa gak bisa orang lain? Temen-temenmu? Nanti kalau aku butuh sesuatu ke siapa dong? Kok kamu tega sih ninggalin aku di saat-saat seperti ini?”

Aku menjejalinya dengan pertanyaan-pertanyaan kebingunganku. Sebenarnya bukan karena “jika aku butuh sesuatu minta ke siapa” karena aku juga bisa sendiri atau minta ke ibu. Yang aku butuhkan saat ini adalah Idan. Aku butuh bersama dia, aku butuh dia menemaniku di masa-masa labilku sekarang ini.

“Kamu jangan gitu donk Pit. Bukannya aku tega. Ini murni urusan pekerjaan. Harusnya bosku yang bertemu dengan klien di sana. Tapi tadi bos mendadak tidak bisa dan dia mau aku yang menggantikannya. Dia cuma percaya sama aku buat menggantikannyamengingat proyek ini sangat penting bagi perusahaan kami. Mungkin selama hampir dua bulanan. Aku sudah telpon Ibu. Aku minta tolong beliau agar menjagamu selama aku keluar kota.”

“Lagian gak lama-lama amat kok. Kamu pasti senang ditemani Ibu di rumah. Kalian bisa sharing tentang pernak-pernik kewanitaan dan persiapan melahirkan tanpa harus diikut campuri oleh laki-laki. Ibu tentu lebih tahu tentang itu.”

Panjang lebar dia mengungkapkan alasannya. Sejujurnya aku masih gak rela jika di pergi sekarang. Saat masa-masa aku sangat membutuhkan kehadirannya namun aku tak kuasa menahannya lagi. Aku tak punya daya lagi untuk berbantah-bantahan dengannya. Tubuhku terasa lemah sekali saat hamil ini dan malas melakukan hal-hal yang menyita tenaga dan pikiran. Apalagi yang membuat stress.

Tapi bukankah saat ini saja aku sudah stress menghadapi kenyataan bahwa selama dua bulan ke depan aku akan sendirian tanpa Idan? Meskipun ditemani ibu tapi akan tetap sepi tanpa Idan. Aku heran mengapa aku jadi melankolis dan tak berdaya seperti ini? Kontras sekali dengan aku dulu yang cenderung mandiri dan tak butuh orang lain. Kulakukan banyak hal sendirian. Namun sekarang? Aku benar-benar tak berdaya jika sendiri. Tak terbayang bagaimana hari-hariku nanti tanpa Idan. Meskipun hanya sementara. Ya kuharap sementara saja.

Akhirnya kuijinkan dia dengan berat hati dan dengan segala konsekuensi. Mulai besok pagi Idan akan berangkat keluar kota dan aku akan sendiri. Aku pasti akan sangat merindukannya. Ah kuakui hari-hari yang telah kulalui dengan Idan selama ini memang tak pernah membosankan.

Mungkin akan jadi membosankan jika tanpa dia.

***

Pagi-pagi sekali Idan berangkat dijemput temannya.

“Jaga diri kalian baik-baik ya. Aku akan cepat kembali” Idan berpamitan padaku sambil mengecup keningku.

“Hati-hati di jalan” jawabku pendek.

Aku berusaha bersikap biasa saja saat dia berpamitan. Sebenarnya banyak pesan yang ingin kusampaikan padanya: jaga diri baik-baik, jangan lupa makan, jaga kesehatan, jangan lupa telpon aku setiap hari, jangan bikin masalah dengan orang lain, cepetan balik dan banyak lagi.

Namun semua terasa berhenti di tenggorokan. Aku sangat mengkhawatirkannya namun aku tak kuasa menyampaikannyakarena aku takut ketegaranku di depannya akan runtuh seketika ketika aku berbicara lebih banyak dan tangisku tumpah. Aku jadi agak cengeng akhir-akhir ini.

“Jangan khawatirkan diriku. Justru aku yang mengkhawatirkandirimu. Dan anak kita tentunya” Idan seperti bisa membaca gundah di benakku.

Aku mengangguk. Idan meninggalkan rumah dengan tetap menatapku. Kekhawatiran yang sangat mendalam dalam sorot matanya. Aku berusaha tetap tersenyum mengantarkan kepergiannya.

“Cepat balik!!”

Hanya kata itu yang terakhir bisa kuteriakkan padanya dari jauh di sela-sela senduku yang tertahan. Entah kenapa aku merasa sangat khawatir kali ini.

Tangisku tumpah saat mobilnya sudah tidak terlihat. Aku buru-buru masuk rumah dan membenamkan wajahku di bantal. Aku sebal sekali kenapa aku bisa begitu cengeng sekarang.

Dulu di awal-awal pernikahan saat Idan pergi dan tak pulang-pulang bahkan aku nyaris tak peduli. Apa semua karena cinta?

Beberapa saat kemudian Ibu datang. Aku hapus air mataku dan keluar menyambut Ibu.

“Kamu habis nangis Pit?” Ibu seperti bisa menangkap apa yang barusan terjadi.

“Enggak. Cuma kelilipan tadi” sanggahku.

“Sudahlah, Idan kan Cuma pergi beberapa waktu saja. Tak akan lama. Kan ada Ibu yang menemani sementara?” Ibu seperti faham dan memaklumi kebohongaku.

Aku Cuma tersenyum. Kujawab dalam hati, Iya Bu memang tidak sendiri karena Ibu temani. Tapi hatiku yang terasa sepi karena tidak ada Idan di sisi.

***

Hari-hariku tanpa Idan benar-benar sepi. Meskipun aku bisa ngobrol sama ibu tapi rasanya tetap beda. Ngobrol sama ibu lebih banyak seriusnya. Kadang ibu berusaha menghiburku dengan lelucon-leluconala tahun 70-annya tapi buatku itu tak lucu sama sekali. Idan tetap lebih lucu bagiku mengalahkan pelawak manapun.

Saat jadi sahabatku ia selalu berhasil menghiburku dengan lelucon-leluconkonyolnya bila aku lagi sedih. Meskipun kadang malah membuatku makin sebel dan dia jadi sasaran tinju dariku.

Tiap hari Idan telpon mengabarkan dia lagi dimana, menanyakan apakah aku baik-baik saja, bagaimana kesehatanku, apakah aku sudah makan atau belum, aku lupa minum susu ibu hamil apa tidak dan banyak hal. Aku biasanya hanya menjawab pendek-pendek saja. Yang kubutuhkan saat itu hanya mendengarkan suaranya saja. Aku sudah senang.

Tanpa Idan yang setiap hari rajin mengurusku aku jadi malas makan dan malas melakukan apa saja. Bukannya aku tak menghargai kerja keras ibuku yang beberapa waktu ini mengurusku tapi sudah kubilang dari awal bahwa bersama Idan akan lain rasanya. Aku sudah terbiasa apapun dengan Idan.

“Ayolah Pit makan. Ibu sudah capek-capek membuatkanmu bubur ayam masak gak disentuh sedikitpun?”

“Belum laper” jawabku sekenanya.

“Tapi nanti kalau kamu gak makan kan kamu sakit? Pikirkan kesehatanmu Pit! Pikirkan anakmu!” Ibu mulai menceramahiku.

“Aku maunya disuapi sama Idan”

“Apa? Idan kan masih di luar kota? Masak ya kamu minta dia balik cepat-cepat hanya buat nyuapin kamu makan? Jangan kekanakan kamu Pit!”

Aku diam saja. Ibu kembali ke dapur sambil ngomel. Beberapa saat kemudian datang lagi sambil bilang alau Idan telpon.

“Halo Pit?” Suara di seberang sana tampak sedang gembira sekali.

“Ya?” jawabku pendek.

“Udah makan? Kata ibu kamu susah makan akhir-akhir ini kenapa? Nanti sakit lho”

“Aku belum lapar. Nanti aja kalau dah lapar. Atau kalau kamu sudah pulang”

“Hah? Jangan main-main kamu Pit. Aku kan masih sebulan lagi baru balik? Sabar dong Pit pangeranmu ini akan segera datang hehe”

Kali ini sama sekali tak lucu. Ya tak lucu.

***

Kondisi kesehatanku semakin buruk. Aku semakin susah makan dan minum vitamin. Ibu jadi makin kerepotan mengurusiku yang makin rewel seperti bayi. Berkali-kali ibu telpon Idan dan Idan membujukku tapi tak satupun bujukannya kuhiraukan. Yang kumau sekarang adalah dia ada disini sekarang.

Paginya aku mengalami demam tinggi. Ibu panik dan menelpon dokter. Setengah tak sadarkan diri samar-samar kudengar ibu juga menelpon keluarga di rumah buat minta bantuan segera.

Rasanya kesadaranku semakin memudar. Kurasakan nyeri yang teramat sangat di perut bagian bawahku. Sesuatu yang panas membasahi rok dan sprei tempatku terbaring. Dan selanjutnya gelap…

***bersambung 7....

0 komentar:

Posting Komentar