Setelah Kau Menikahiku (Pernikahan Simulasi Part 4)

Cerbung
Setelah Kau Menikahiku
(Pernikahan Simulasi Part 4)
"Kita tidak bisa bertemu lagi Pram," ujarku
kepada Pram di telepon. Separuh jiwaku rasanya
terbang dan hilang saat kata-kata itu
kuucapkan.
"Kenapa? Idan melarangmu?"
"Dia tidak tahu apa-apa."
"Kenapa kau terus memikirkan dia, Ta. Pikirkan
dirimu sendiri. Apa kau sudi menghabiskan
hidupmu dengan orang yang tidak kau cintai,
sedangkan denganku kau bisa mendapatkan
semuanya?"
Kugigit bibir ku saat setetes air bergulir di pipiku.
"Ita, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku
kepadamu dan hidupmu baru akan lengkap
denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau
dengan Idan, hidup kita hanya mimpi, cacat,
timpang. Dan kita baru akan memulai hidup,
setelah kita bersama. Saat ini kau tidak punya
apa-apa, Ta, tidak juga masa depan, tapi
berdua, kita akan miliki segalanya...."
"Hentikan," potongku dengan suara bergetar.
"Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha
mendapatkanmu lagi, kau hanya buang-buang
waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah
itu disuruh mundur. Ini menyangkut sisa hidup
ku dan hidupmu. Tidak ada yang lebih penting
dari itu dan aku tidak akan berhenti sampai kau
kembali denganku."
"Aku tidak bisa...."
"Kenapa tidak?"
Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah
permainan. Menyenangkan memang. Tapi tetap
hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya
berat sekali memutuskannya?
"Kau tidak mencintai Idan, Ta. Kau berbeda
dengannya, jadi bukan kesalahanmu kalau kau
tidak bisa mencinta inya. Satu-satunya
perasaan yang layak kau simpan untuknya cuma
iba, karena ia tidak akan pernah bisa
mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya
menikah dengan perempuan yang mencintai
lelaki lain."
"Aku...."
"Akuilah, Ta, kau mencintaiku. Kebersamaan kita
adalah takdir."
Kututup mikrofon dengan tanganku dan
menghela napas panjang. Seluruh tubuhku
rasanya terbakar dan lunglai dan dunia seperti
berputar makincepat. Kupejamkan mataku.
"Aku tidak mencintaimu," gumamku.
"Lebih keras lagi."
"Aku tidak mencintaimu."
"Kau berbohong."
Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya
sanggup mengucapkan, "Ya."
"Ita," suara Pram gemetar. "Aku berjanji untuk
selalu membuatmu bahagia."
Aku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan
Idan akan berakhir, cepat atau lambat. Tapi
hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan
bahwa aku harus bicara padanya tentang
perpisahan. Aku sadar bahwa Idan sendiri tidak
berhak dan tidak mungkin menghentikanku.
Bahkan, mungkin ia akan merasa lega dengan
keputusanku itu, karena akhirnya ia bisa
membenahi hidupnya sendiri lagi.
Mustahil ia akan menolak berpisah denganku.
Apalagi, aku juga tahu ia sangat menyayangiku
dan ingin aku bahagia. Dan aku tahu, keputusan
untuk kembali kepada Pram adalah yang terbaik
untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti
akan didukung oleh Idan. Aku yakin keputusanku
itu tidak merugikan siapa pun. Kenapa aku harus
segan menyampaikannyapada Idan? Mula-mula
aku berjanji kepada diriku sendiri untuk mencari
waktu yang tepat.
Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku
dilanda keraguan dan akhirnya membatalkan
niatku. Pram tidak bisa mengerti itu.
"Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke
Jerman, Ta. Dan kau harus menempuh masa
idahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan
pendapat orang lain yang pasti berkomentar
kalau kau menikah denganku segera setelah
masa idahmu selesai. Dan aku hanya di sini
sepuluh bulan lagi."
"Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi...
Entahlah."
"Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu
bahagia?"
"Aku...." aku tergagap dan menggeleng.
"Jadi, bicaralah dengan Idan."
Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku
sudah bertekad untuk bicara dengan Idan malam
itu juga. Aku tak akan menundanya lagi. Begitu
aku tiba di rumah, Idan sudah menungguku di
teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri
saat aku mendekati teras, hingga aku jadi
berpikir, ada apa sebenarnya.
"Kenapa kau sudah di rumah?" tanyaku.
Idan menyilangkan telunjuknya di depan bibir
dan menggandeng tanganku ke dalam rumah.
"Ada apa?"
"Sst!"
Ia membawaku ke serambi samping. Dengan
bangga dikembangkannyatangannya. Di sana
ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup
lebar untuk tiga orang, dengan bantal-bantal
yang kelihatan sangat mengundang, berwarna
hijau dengan gambar... mawar putih?
"Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan
kita," katanya.
Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu.
Wajah Idan benar-benar sumringah. Di matanya
ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang
pasti telah berubah warna.
"Aku... aku tidak punya hadiah apa-apa,"
gumamku sambil kembali menatap ayunan itu,
menyembunyikan kalutku. "Aku lupa...."
Idan tertawa. "Kau bahkan tidak ingat ulang
tahunmu sendiri," katanya.
Ia duduk diayunan itu. "Ayo," katanya sambil
menarik tanganku.
Aku duduk disampingnya, tak tahu mesti
mengatakan apa. Aku benar-benar tidak ingat
bahwa setahun lalu hari itu, aku dan Idan
menikah, simulasi. Kenapa Idan harus
menganggap hari itu demikian istimewa
sementara aku sendiri sama sekali tak
mengingatnya?
Idan mulai berayun-ayun pelan sambil
menggenggam tanganku. Ia sedang
menceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya,
tapi aku sama sekali tak mendengarkan. Di
kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan
segera kuucapkan padanya. Aku telah berlatih
dalam hati untuk mengutarakan segalanya,
tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan
hati yang telah kubangun runtuh berserpihan.
"Pit, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru,
anak nakal," teguran Idan membuyarkan
renunganku.
"Ada apa?"
Kutatap matanya. "Dan, Pram pulang."
Dahinya berkerut. "Pram?"
"Pacarku yang pergi ke Jerman."
"Oh," ia mengangguk. "Kapan?"
"Sebulan lalu, waktu aku ulang tahun."
Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan
apa-apa setelah itu. "Dia sudah menikah?"
tanya Idan, seperti mendorongku bicara.
Aku menggeleng.
"Lalu?"
"Dia ingin menikah denganku," ujarku cepat-
cepat, tanpa memandang wajahnya. "Ia hanya di
sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku ingin kita
segera bercerai."
"Oh."
Idan tak mengatakan apapun selama beberapa
saat. Pertanyaan berikutnya ia ajukan dengan
ringan, seolah-olah sambil lalu, "Kau yakin ia
mencintaimu?"
Aku mengangguk.
"Kau yakin akan bahagia dengannya?"
Sekali lagi aku hanya mengangguk.
"Kalau begitu, selamat," ketulusannya terdengar
hangat. "Aku ikut bahagia."
Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan
aku tidak menemukan setitik pun kekecewaan di
sana. Rasa lega meruahi hatiku.
Idan bertanya beberapa hal tentang Pram dan
semuanya kujawab dengan antusiasme gadis
belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah
beberapa waktu, aku sadar kalau ia tidak
sungguh-sungguhmemperhatikan ceritaku.
"Dan?" tegurku.
"Ya?"
"Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau
pikirkan?"
"Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa
kuajak selingkuh, supaya kau punya alasan
untuk bercerai denganku."
***
Malam itu aku terbangun saat Idan
mengguncang bahuku.
"Pit, bangun!"
"Ada apa?" gumamku.
Jam alarm di sisi ranjangku baru menunjukkan
pukul tiga lima belas dini hari.
"Ganti baju cepat, kita mesti ke rumah sekarang.
Mama meninggal."
Aku terlonjak duduk. "Apa?"
"Ganti baju," perintah Idan sambil meninggalkan
kamarku.
Aku terpaku sejenak sebelum akhirnya lari
mengejar. "Kapan."
"Baru saja."
"Di?"
"Rumah. Ganti bajumu. Kita berangkat lima
menit lagi."
"Idan...."
Ia membanting pintu kamar di depanku.
Aku kembali ke kamarku dan bergegas
mengganti piyamaku dengan baju yang pantas.
Ketika aku keluar, semua lampu belum menyala
dan pintu depan masih tertutup. Juga pintu
kamar Idan. Kuketuk pintu itu perlahan.
"Dan, aku sudah siap."
Tidak ada jawaban.
Aku menyelinap masuk. Kamar Idan gelap, tapi
dengan cahaya samar lampu taman aku bisa
melihatnya meringkuk di sudut, wajahnya
tersembunyi dibalik kedua tangannya. Ia
menepis tanganku, bahkan mendorongku
terjungkal saat aku menyentuh bahunya. Tapi
ketika untuk ketiga kalinya kuulurkan tanganku,
ia tidak lagi menghindar, dan dalam rangkulanku
ia menangis.
Hanya saat itu Idan tidak bisa mengontrol
emosinya. Setelah itu ia kembali menjadi Idan
yang rasional dan berkepala dingin, yang
mengurus pemakaman, menerima para tamu dan
menghibur keempat kakak perempuannya
dengan ketenangan yang nyaris mengerikan.
***
Sore harinya, saat aku tengah membantu
merapikan kembali ruang tamu, kakak tertua
Idan, Kak Ira, menghampiriku.
"Pit, bawa Idan pulang."
"Apa tidak sebaiknya dia di sini dulu, Kak?"
Kak Ira menggeleng. "Coba lihat sendiri,"
katanya sambil menunjuk ke halaman belakang.
Idan kutemukan di sana, sedang mengisap
sebatang rokok. Ia sudah tujuh belas tahun
berhenti merokok dan melihatnya kembali pada
kebiasaan itu membuatku sadar ia sedang
bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam dari
yang ditunjukkannya.
Ketika aku mendekat, kulihat asbak di
sampingnya telah penuh dengan puntung rokok
dan kotak di atas meja tinggal berisi sebatang.
Kucabut rokok itu dari antara jemarinya dan
kubunuh di asbak. Idan tidak memprotes, ia
bahkan tidak menatapku. Aku sadar Kak Ira
memang benar. Aku harus segera membawa
Idan jauh-jauh dari semua kenangan tentang
ibunya.
"Aku mau pulang, Dan, " ujarku sambil
memegang tangannya. Ia menggeleng pelan.
"Aku akan menginap di sini. Kau pulanglah
sendiri. Besok aku pulang naik bus saja."
"Aku tidak mau sendirian di rumah."
Idan menghela napas berat dan akhirnya
bangkit. Ia berpamitan kepada kakak dan
iparnya dan keluar untuk mengambil mobil. Saat
itu Kak Ira menggamit tanganku dan berbisik,
"Aku senang Idan sudah menikah denganmu.
Kau pasti bisa menghiburnya dalam saat-saat
seperti ini. Ia paling merasa kehilangan dengan
meninggalnya Mama. Kau tahu, ia tinggal
dengan Mama selama tiga puluh tiga tahun."
Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu. Kupeluk Kak
Ira dengan hati menggigil. Bagaimana bisa
kukatakan kepadanya bahwa aku dan Idan
sudah sepakat untuk mengakhiri pernikahan ini
secepatnya?
***
Sesampai di rumah, Idan langsung menuju ke
kamarnya.
"Kau mau kumasakkan nasi goreng, Dan?"
"Nanti saja. Aku tidak lapar."
"Kau tidak makan apa-apa dari kemarin subuh.
Nanti kau sakit. Mau ya?"
Idan mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi
semakin khawatir melihatnya.
"Tunggu di sini," ujarku lagi. "Aku tidak akan
lama."
Ketika aku baru saja mengambil telur dari lemari
es, aku mendengar suara Idan di kamar mandi. Ia
kutemukan membungkuk di wastafel, menangis
dan muntah hampir bersamaan. Untuk sesaat
kepanikan melumpuhkanku dan aku hanya bisa
terpaku diambang pintu, tak pasti apa yang
harus kulakukan. Insting pertamaku adalah lari
keluar mencari bantuan. Tapi aku tidak mungkin
meninggalkan Idan dalam keadaan seperti itu.
Kuhampiri Idan dengan ragu.
Perlahan kuelus punggungnya dan sentuhanku
agaknya sedikit menenangkannya,dan lambat
laun isaknya mereda. Ini membuatku lebih yakin
dengan apa yang mesti kulakukan selanjutnya.
Kupijat tengkuknya dan kuseka keringat di
dahinya. Tapi tiba-tiba saja ia terkulai lemas,
dan kalau aku tidak segera meraihnya ke dalam
pelukanku, ia pasti akan terpuruk ke lantai.
Pelan-pelan kupapah ia ke kamar dan
kubaringkan di ranjang. Kubuka kemejanya yang
basah dan kuselimuti badannya yang menggigil.
"Maaf, Pit," bisiknya. "Aku tidak bisa menangis di
depan kakak-kakakku. Mereka...."
"Aku tahu. Tidak apa-apa," tanganku masih
gemetar saat aku mengelus rambutnya.
"Aku buatkan teh panas, nanti kau minum, ya."
Ia mengangguk dan aku beranjak
meninggalkannya. Ketika aku kembali, ia
kelihatan agak lebih baik.
Dihirupnya sedikit teh yang kubawa. Wajahnya
tidak lagi pucat setelah itu. Ketika aku merapikan
kembali selimutnya, ia memegang tanganku.
"Terima kasih."
"Kau pernah melakukan lebih dari ini untukku."
"Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku
pernapasan buatan," ia tersenyum nakal.
"Oh, kau!" aku ikut tersenyum, lega.
"Dan untuk menikah denganku," lanjut Idan
kemudian, ekspresinya begitu serius.
"Setidak-tidaknya sebelum meninggal, Mama
bisa tenang karena mengira aku sudah beristri. "
Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata
saat aku bicara, "Aku yang mesti berterima kasih
kepadamu."
"Untuk apa?"
"Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk
kesabaranmu. Pengorbananmu."
Idan tersenyum kecil. "Aku tidak melakukan
apapun yang tidak kusukai. Ini setahun yang
sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku
yang berterima kasih."
"Jangan memaksa," aku mencoba bercanda.
"Aku yang harus berterima kasih. Mengalahlah
sedikit."
Idan tersenyum dan mencubit hidungku.
Tangannya tidak sedingin tadi dan itu
melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.
"Aku masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya
mau terlibat dengan ide gilaku ini," katanya.
"Entahlah, Dan," aku tertawa kecil. "Mungkin aku
sudah sangat capai berkilah tiap kali ibuku
merongrong soal perkawinan. Dan aku melihat
usulmu itu sebagai jawaban yang paling jitu
untuk menyelesaikan dua masalah sekaligus,
keenggananku untuk menikah, karena tidak ada
calon yang pas; dan keinginan ibuku yang
menggebu-gebu untuk segera melihatku
menikah."
"Apa yang kau dapat setelah setahun kita
menikah?" tanyanya dengan mimik lebih serius.
Aku terdiam sejenak. "Banyak," jawabku akhir
nya. "Aku belajar bahwa aku tidak menikah
dengan malaikat atau monster, tapi dengan
manusia, yang punya kekurangan yang harus
kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa
kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam pernikahan,
bila kita tidak mendapatkan apa yang kita
inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapi boleh
jadi suatu kemenangan bersama."
Aku ingin menambahkan bahwa pernikahan
membutuhkan cinta dan kesetiaan seperti gurun
memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untuk
menyatakan semua itu.
"Kau memang selalu pintar bicara," Idan
tersenyum.
"Kau sendiri? Apa ya ng kau pelajari selama ini?"
"Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan
pernah sebahagia ini lagi setelah kau pergi."
Aku tertegun. "Apa maksudmu?"
Idan bangkit dan duduk mencangkung
menatapku. "Tahun ini adalah saat paling
bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi
dan mendengar suaramu, aku jadi berpikir aku
adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini. Dan
setiap malam waktu aku pulang dan kau
tersenyum menyambutku, aku merasa aku jadi
manusia paling beruntung di seluruh jagad raya.
Aku jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu
bahkan mulai berharap kau akan bersamaku
terus, walaupun harapan itu, aku tahu, konyol.
Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku
mencintaimu, kau akan kehilangan akal sehat."
Kutatap wajah Idan lekat-lekat. Ia tidak
kelihatan sedang bercanda. Ia tampak sangat
tenang dan serius.
"Aku masih belum mengerti," bisikku.
"Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah
simulasi untukku, Pit. Ini adalah pernikahan
sesungguhnya untukku."
"Apa maksudmu kau mencintaiku ?" suaraku
tercekik.
"Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu,"
kata-kata Idan begitu lugas, menghantamku
seperti sebuah pukulan keras yang membuatku
terempas.
"Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena
nyaris melindas kelincimu, dua puluh tahun yang
lalu, waktu kita masih sama-sama belasan
tahun. Dan aku tidak pernah bisa berhenti
mencintaimu hingga kini."
"Kau... kau tidak pernah...."
"Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau
selalu sedang jatuh cinta dengan orang lain atau
patah hati karena orang lain, dan kau selalu
datang kepadaku menceritakan semuanya. Aku
tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak
menggambar. Tidak menulis puisi. Kalau kau
bilang sebuah lukisan itu bagus, aku tidak
mengerti kenapa. Aku bukan jago pidato dan
calon ketua OSIS yang kau gilai di SMA. Aku
bukan aktivis kampus yang membuatmu mabuk
kepayang waktu kuliah dulu. Aku terlalu biasa-
biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan,
memalukan dan aku benci kau kasihani. Tapi
selama ini aku benar-benar tidak punya
keberanian, belum lagi kesempatan, untuk
berterus terang kepadamu."
"Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan," ujarku
lirih. "Kau istimewa dengan caramu sendiri."
Ia mengangkat bahu. "Tidak cukup untuk kau
cintai."
Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua
mata Idan, mencari tanda-tanda kalau semua ini
hanya salah satu dari sekian banyak
permainannya. Tapi ia kelihatan sungguh-
sungguh.
"Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu
kita akan berpisah seperti ini? Apa yang kau
inginkan?" tanyaku datar.
Idan tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam
senyumnya, sesuatu yang tak pernah kutemukan
sebelumnya. "Aku sendiri tidak tahu kenapa aku
mesti mengatakan semua ini kepadamu. Aku
hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Bukan
karena aku masih berharap kau akan
mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bedanya
lagi. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap
memiliki cintaku, apapun yang terjadi, bahkan
jika akhirnya kau benci kepadaku atau
melupakanku sekalipun."
Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing
berpijar di matanya saat ia kembali menatapku.
"Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku
ingin kau disini bersamaku, seumur hidupku. Aku
ingin kau belajar dan akhirnya benar-benar
mencintaiku, mungkin tidak akan pernah
sedalam dan separah cintaku kepadamu, tapi
setidaknya kau tidak lagi menganggapku hanya
sekedar sahabatmu, tapi juga kekasihmu. Aku
ingin mencintaimu lebih dari yang pernah
kutunjukkan."
Ia menghela napas berat. "Tapi itu semua
keinginanku. Bukan kemauanmu.
Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu
juga."
Lama kami berdua saling berpandangan.
"Terima kasih, Dan," desahku akhirnya. Kupeluk
ia erat-erat, menyembunyikan air mataku di
bahunya.
***
"Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku
terpaksa menunda proses perceraian itu. Idan
baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak
pantas bicara soal perceraian saat ini."
"Berapa lama?"
"Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin."
"Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku
tidak bisa menunda kepulanganku ke Jerman.
Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke
sini lagi. Mungkin tidak dalam setahun atau dua
tahun ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu
yang mestinya bisa kita lewati berdua."
"Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak mungkin
meninggalkan Idan sekarang. Dia membutuhkan
aku."
"Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan
pikirkan dirimu sendiri. Apa kau tidak ingin kita
bisa seterusnya bersama?"
Aku menghela napas panjang. "Entahlah, Pram, "
bisikku.
"Apa maksudmu?" suara Pram terdengar kaget.
"Aku.... Aku tidak akan bahagia kalau Idan
menderita."
"Ita! Kau tidak.... Dengar, pikir baik-baik.
Menurutmu, kalau kau tersiksa hidup
dengannya, ia akan bahagia?"
"Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya."
"Tapi kau tidak bahagia!"
"Aku bahagia, Pram. Mungkin tidak seperti saat
aku bersamamu. Tapi Idan membuatku
bahagia."
"Kau tidak bisa''
Bersambung

0 komentar:

Posting Komentar