Setelah Kau Menikahiku 7 (Pernikahan Simulasi Part 7)

Setelah Kau Menikahiku 7
(Pernikahan Simulasi Part 7)

Pernikahan Simulasi (Bagian 7)

Berat mata kubuka dan seketika cahaya putih berpendar menyeruak menyilaukan pandanganku. Dimana aku? Lambat laun aku tahu bahwa aku sudah ada di rumah sakit. Di sampingku sudah ada ibu yang tertidur sambil duduk dengan kepala menyandar ke ranjang tempatku berbaring. Tangannya masih erat menggenggam tanganku.

“Ibu?” pelan-pelan kubangunkan ibu. Aku ingin bertanya kenapa aku bisa disini. Seingatku aku demam, kesadaranku mulai hilang dan… ya Tuhan! Nyeri di perut bagian bawahku masih terasa sampai sekarang. Bagaimana keadaan kandunganku?

“Ibu?” sekali lagi kubangunkan ibu dan pelan-pelan ibu terbangun.

“Upit? Alhamdulillah kamu sudah siuman nak!” Melihat diriku yang sudah siuman, beliau langsung berucap syukur dan memelukku.

“Dimana Idan bu? Bagaimana keadaan kandunganku?” tanpa basa-basi langsung kutanyakan apa yang masih mengganjal dalam benakku saat ini.

“Idan masih dalam perjalanan pulang Pit. Doakan saja cepat sampai.”

“Bagaimana dengan kandunganku Bu?” Sekali lagi ku ulang pertanyaanku. Namun ibu hanya tersenyum getir dan mengalihkan pembicaraan. Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Jangan-jangan?

Tapi aku tidak mau berpikir buruk dulu. Saat ini aku masih sangat lemah dan Idan bilang kemarin kalau aku tidak boleh terlalu stress. Kubalikkan badanku membelakangi Ibu. Kuabaikan tatapan ibu dan ceritanya yang aku tahu hanya untuk mengalihkan pembicaraan kami. Yang aku inginkan saat ini masih Idan. Aku ingin Idan menemaniku sekarang. Secepatnya!

Tiba-tiba pintu dibuka dan salah satu kakak sepupuku masuk dengan tergesa-gesa mengabarkan kalau pesawat yang ditumpangi Idan mengalami keterlambatan sehingga tidak bisa datang cepat.

Kubalikkan badanku menghadap mereka berdua. Kakak sepupuku ternyata tidak menyadari jika aku sudah siuman dari tadi sehingga kabar itu langsung saja ia lontarkan di depan ibuku. Aku berusaha tegar di depan ibu dan hanya bisa menitikkan air mata dan menangis kecewa di dalam hati…

Sementara ibu dan sepupuku hanya berdiri menatapku iba. Ibu menghampiriku dan menenangkanku. Aku berharap jadi tenang tapi justru malah membuatku semakin merasakan kekecewaanku.

***

Tadinya aku sudah merasa lega karena terbagun dari mimpi burukku dan kembali ke dunia nyata namun ternyata mimpi buruk itu justru ada di depan mata di dunia nyata. Setelah kabar keterlambatan Idan yang sempat membuatku sangat kecewa, kabar buruk lain datang dari dokter yang tadinya sempat disembunyikan oleh ibu.

Kandunganku.. kandungan pertamaku, aku terpaksa harus merelakan kandunganku dikuret karena kemarin aku ternyata mengalami pendarahan hebat yang entah karena apa. Aku masih beruntung karena aku mampu bertahan melewati masa-masa kritisku dan siuman dari koma berhari-hari.

Aku benar-benar merasakan kekecewaan yang sangat besar saat ini. Idan yang tidak bersamaku, yang tidak menemaniku di saat-saat seperti ini. Saat ketika aku sangat membutuhkannya.Suami macam apa dia yang lebih mementingkan pekerjaan daripada istrinya sendiri? Dan sekarang aku harus kehilangan kandunganku. Kandungan pertamaku, anak pertamaku dengan Idan.

Terpuruk. Ya itulah kata yang tepat buatku sekarang. Aku pasrah.. Upit! Apa yang terjadi padamu? Mana kemandirianmu dulu? Mana ketegaranmu? Kenapa kamu jadi seperti ini sekarang?

Yang jelas aku sangat kecewa saat ini!

Idan baru datang hari berikutnya. Dia terlihat sangat letih dari perjalanan jauhnya. Tapi aku tidak peduli. Aku masih sangat kecewa padanya. Aku masih marah padanya. Dan apakah dia sudah tahu kabar gugurnya kandunganku? Ah pasti Ibu sudah memberitahunya.

“Maafin aku Pit.” Idan datang menghampiri tempatku berbaring dan menggenggam tanganku. Kuhempaskan tangannya dan kubalikan badanku membelakanginya. Aku sangat rindu padanya tapi untuk saat ini aku sedang tidak igin melihat wajahnya.

“Maafin aku Pit. Aku gak bisa menemanimu di saat-saat beratmu. Ibu dah cerita semuanya dan aku juga sangat sedih Pit dengan kejadian yang menimpamu saat ini. Yang menimpa anak kita juga..”

Aku tetap bergeming. Pura-pura tak menghiraukan perkataannya. Aku tidak tahu seperti apa ekspresinya sekarang tapi aku yakin pasti dia sedang pasang tampang sok memelas seperti biasanya ketika meminta maaf.

“Ayolah Pit, jangan begini terus. Aku tahu aku salah. Aku minta maaf sekali Pit. Aku rindu sekali padamu Pit.”

Kata-kata terakhirnya manis sekali. Tapi tidak untuk saat ini. Kamu harus dihukum Dan. Kamu harus merasakan dan menyadari betapa kecewanya diriku padamu.

Aku ingin menghukumnya seperti dulu. Seperti ketika dia membuatku sakit selama seminggu dan terpaksa merelakan diriku dia rawat seperti bayi. Hanya saja kali ini aku tidak berminat menyuruh-nyuruhnya melakukan ini itu lagi seperti dulu. Terbukti sudah tidak mempan dan malah akan membuatku merasa iba padanya. Kali ini aku hanya ingin mendiamkannya.

Tapi reaksinya ternyata sama saja. Dia sama sekali tidak protes seperti dulu dan ikut-ikutan diam seribu bahasa. Huuh gimana sih? Kok tidak mengejar-ngejarlagi? Kok tidak berusaha lagi minta maaf dan menyalahkan diri sendiri? Padahal kan jelas dia yang salah? Payah!

Awas nanti! Ini akan berlangsung lama Dan! Jangan dikira aku hanya mengertak saja.

Sesaat kemudian Ibu datang. Melihat interaksi kami yang terkesan dingin, ibu pun mengajak Idan keluar dan bicara. Entah apa yang mereka bicarakan. Paling Cuma bilang: Sabaaarrr…

Tapi, eh kok Idan jalannya agak pincang ya? Kenapa dia? Ah masa bodoh aku gak peduli. Dia juga tidak memperdulikanku. Bahkan meninggalkanku di masa-masa mengandung anak kami berdua. Aku sudah melarangnya tapi dia tetap bersikukuh pergi. Egois!

***

Beberapa hari kemudian kondisiku sudah agak baikan dan diperbolehkan pulang. Saat keluar dari rumah sakit dan menuju mobil jemputan aku tidak mau dipapah oleh Idan. Aku maunya sama Ibu saja. Ibu yang tahu kondisi hubungan kami saat ini mengiyakan saja.

Diperjalanan pulang kami tetap saling diam. Hanya Ibu yang lebih banyak bicara dengan kami. Itupun bergantian. Kadang berbicara dengan Idan, kadang berbicara denganku. Tidak ada interaksi yang hangat sama sekali di antara kami bertiga. Aku tetap bersikukuh tidak mau bicara dengan Idan, dan Idan juga diam saja di tempatnya menyetir mobil.

Sampai di rumah aku dipapah lagi oleh Ibu. Dan berat rasanya ketika ibu berpamitan pulang karena tugasnya menjagaku sudah selesai. Sudah ada Idan katanya. Ini berarti tidak ada lagi orang yang bisa kuajak bicara. Tidak juga Idan karea aku memang tidak ingin bicara padanya.

“Ibu pulang dulu ya? Jaga diri kamu baik-baik Pit. Jangan sedih lagi. Idan udah pulang tuh.” Sebelum keluar pintu Ibu masih sempat menasehatiku. Aku hanya mengangguk.

“Dan kamu Dan, ibu nitip Upit ya? Jagain baik-baik!”

“Iya bu.” Jawab Idan

"Yaudah. Ibu berangkat dulu. Taksinya sudah nunggu dari tadi. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumusalam..”

Setelah mengucap salam ibu pergi dengan taksi. Aku masih mematung di teras sementara Idan masuk sendiri ke rumah.

***

Bukan ini yang aku harapkan. Setelah berbagai kejadian yang menimpaku, kepulangan Idan dan kebersamaan kami lagi di rumah, bukannya membuat hubungan kami kembali dekat tapi malah makin renggang.

Aku mendiamkan Idan namun ternyata Idan juga tidak menyapaku. Berusaha mendekatiku pun tidak. Apa dia sudah tidak mencintaiku lagi? Apa dia kecewa dengan sikapku? Sama kecewanya dengan kekecewaanku padanya? Atau jangan-jangan dia kecewa karena aku gagal menjaga kandunganku? Gagal mempertahankan anak kami?

Apalagi Idan makin sering pulang malam sekarang. Dan selama berhari-hari ini tak ada interaksi sama sekali di antara kami. Bertemu pun jarang karena dia akan berangkat sangat pagi dan pulangnya sangat larut malam. Dan kami juga tidak tidur sekamar lagi. Dia lebih suka tidur di sofa ruang tengah.

Ah berbagai dugaan yang kupikirkan makin membuatku gelisah berhari-hari. Jangan-jangan Idan sudah memiliki wanita idaman lain seperti yang sering kulihat di infotainment. Yang ketika hubungan suami-istri sudah mulai tidak harmonis maka salah satu akan melampiaskannyadengan menggaet pasangan idaman lain? Ah memikirkan itu saja sudah membuatku pusing dan bingung saat ini.

Daripada penasaran mending aku selidiki apa yang dilakukan Idan pada jam-jam siang begini di kantornya. Lagian aku bosan di rumah terus dalam masa penyembuhanku saat ini. Selain itu aku juga harus bertemu dengan Idan dan bicara. Aku ingin semua kembali baik lagi seperti dulu. Aku ingin semuanya jadi jelas.

Aku pun bertandang ke kantornya dengan mengendarai mobilku sendiri. Jalanan kota siang ini sering sekali macet dan itu membuatku makin sebel dan stress. Langit terlihat mendung dan akan turun hujan. Kelam dan kalut sekalut pikiranku sekarang.

Sesampai di kantor Idan dan memasuki pintu gerbang, satpam penjaganya hanya sepintas melirikku saja tanpa memeriksa atau menginterogasiku sepert yang biasa dilakukan terhadap tamu-tamu yang lain.

Mungkin karena melihat pakaianku yang terlihat resmi dengan blazer merah hatiku dan rok panjang hitamku dia mengira aku tamu penting yang biasa mendapat perlakuan khusus.

Masuk area parkir ternyata lumayan jauh dari pintu kantor. Kuparkir mobilku di lokai terdekat dengan pintu keluar agar tak repot nanti kalau mau balik.

Saat menuju pintu utama kantor aku melewati sebuah kantin fastfood kantor itu. Kantin itu terlihat besar dengan jendela kaca memenuhi sebagian besar dinding kantin itu.

Saat lebih dekat, dari luar jendela besar itu aku lihat Idan sedang duduk sendiri sambil membaca sebuh buku kecil dan menghadap secangkir kopi. Bergegas aku mendatanginya.

Saat jarakku dengan jendela besar itu tinggal beberapa langkah lagi aku berhenti karena kulihat Idan ternyata tidak sendiri. Ada seorang wanita muda cantik menghampiri Idan, duduk semeja dengan Idan dan mereka terlihat bercengkerama, tertawa-tawa bersama. Siapa dia? Jangan-jangan dugaanku benar?
...................................

(Bersambung ke part 8)

0 komentar:

Posting Komentar